Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti (Usakti), Abdul Fickar Hadjar mengatakan, terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra adalah buronan sejak tahun 2009 lalu. Dia mengatakan, Djoko Tjandra tidak mau melaksanakan hukuman.
"Dia (Djoko Tjandra) bisa berkeliaran di Indonesia sepertinya aparat hukum Indonesia dikentutin tak berdaya olehnya, mondar-mandir ke Indonesia tanpa merasa berstatus buronan," ujar Abdul Fickar Hadjar, Jumat (17/7/2020).
Baca Juga: Melihat Profil 2 Jenderal Jenderal Polisi yang Dicopot
Abdul Fickar melanjutkan, Djoko Tjandra dalam status buronan itu bisa lancar mengurus dokumen kependudukan seperti kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) dari Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, serta paspor dari Kantor Imigrasi Jakarta Utara untuk kepentingan melakukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) terhadap perkaranya.
Bahkan menurut Abdul Fickar, di tengah situasi pandemi virus Corona (Covid-19) yang ketat bagi warga negara Indonesia (WNI) untuk bermigrasi ke kota-kota di Indonesia, Djoko Tjandra yang buronan dan tercatat sebagai warga negara Papua Nugini dengan mudahnya bepergian di tanah air.
"Ternyata telah dibekali surat yang dibuat oleh oknum Brigjen di Bareskrim Polri, sekaligus dibekali juga surat rapid test dari dokter kepolisian. Terhadap Brigjen yang membuat surat jalan yang menempatkan Djoko Tjandra sebagai konsultan Korwas sudah diberhentikan dari jabatan dan sedang diproses Propam, displin dan etika profesi, dan akan diteruskan secara pidana baik terhadap Brigjen maupun pihak-pihak lain yang terkait," katanya.
Menurut dia, perlu diperiksa oknum-oknum yang terlibat dalam hasil rapid test Djoko Tjandra sekaligus yang meminta Interpol mencabut status buronan yang bersangkutan. Dia mengatakan, terhadap lurah yang melancarkan pembuatan e-KTP Djoko Tjandra telah dilakukan tindakan yang kemungkinan juga ke ranah pidana.
"Yang harus diperhatikan juga jika benar dalam pengurusan itu diantar dan diatur oleh pengacara atau advokat, maka sudah sewajarnya bagi organisasi advokat untuk memeriksanya dalam ranah etika (kode etik) bahkan jika ada unsur pidananya harus dilanjutkan ke ranah pidana," ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto