Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perang Dingin AS-China Masuki Babak Baru, Berbahayakah?

Perang Dingin AS-China Masuki Babak Baru, Berbahayakah? Donald Trump dan Xi Jinping | Kredit Foto: Reuters
Warta Ekonomi, Washington -

Perang dingin antara China dan Amerika Serikat (AS) memasuki babak baru. Beijing telah menutup konsulat AS di Chengdu pada Senin (27/7/2020). Itu merupakan aksi balasan karena Washington menutup konsulat China di Houston pekan lalu.

Kedua negara saling mengancam bahwa penutupan kantor misi diplomatik dapat berlanjut. Seperti diketahui hubungan China-AS masih memiliki kecenderungan memburuk. Hal itu berdampak luas, terutama dalam bidang perdagangan, teknologi, dan keamanan. Dunia pun dapat terimbas efeknya.

Baca Juga: Mesranya Hubungan Iran-China Bikin Israel Kesal karena...

Dalam bidang perdagangan, AS dan China telah sama-sama mengalami kerugian besar akibat perang tarif yang pecah pada 2018. Komoditas impor dari masing-masing pihak dikenakan tarif ratusan miliar dolar AS.

Kendati komoditasnya telah dibidik dengan tarif selangit, AS tetap menjadi pasar ekspor terbesar China. Sementara China merupakan pasar nomor tiga bagi para eksportir Amerika.

Pembelian barang pertanian, semikonduktor, dan barang-barang pertanian AS lainnya oleh China menurun 11,4 persen tahun lalu. Namun nilainya masih melampaui 100 miliar dolar AS.

Saat China menghentikan impor kedelai dan menaikkan tarif daging babi serta produk-produk lainnya, hal itu cukup memukul produsen pertanian AS.

Negeri Tirai Bambu merupakan pasar ekspor terbesar bagi Iowa dan negara-negara bagian lain di AS yang mengandalkan pemasukan dari komoditas pertanian.

Saat gencatan perang tarif disepakati, China kembali membeli produk biji-bijian  AS dengan harga lebih rendah. Jika kedua negara tidak dapat menyelesaikan perbedaan perdagangan, hal itu akan memiliki dampak buruk.

Tidak hanya bagi eksportir masing-masing, tapi juga ekonomi Asia lainnya. Sebab banyak negara-negara Asia yang memasok komponen dan bahan baku ke pabrik-pabrik Cina.

AS dan Cina pun terlibat perselisihan di bidang atau industri teknologi. Pemerintahan Presiden Donald Trump telah melarang raksasa telekomunikasi Cina, Huawei, untuk mengakses teknologi dan komponen yang diproduksi di AS.

Kebijakan itu merupakan pukulan besar bagi Huawei. Sebab mereka masih menggunakan dan mengandalkan sistem operasi yang dikembangkan Google untuk produk ponsel pintarnya.

Pada Desember 2019, Financial Times, mengutip catatan perusahaan pialang China Securities, melaporkan bahwa Pemerintah China telah memerintahkan seluruh badan serta institusi pemerintah untuk mengganti semua perangkat keras dan perangkat lunak komputer produksi asing dalam tempo tiga tahun.

Langkah itu diperkirakan akan memukul perusahaan seperti Microsoft, Dell, dan Hewlett-Packard (HP).

Perusahaan seperti Apple, Dell, HP, dan lainnya bergantung pada pabrik-pabrik Cina untuk merakit sebagian besar ponsel, komputer serta barang elektronik lainnya yang mereka produksi. Namun dalam prosesnya, pabrik-pabrik itu membutuhkan cip prosesor dan komponen lain dari AS, Jepang, Taiwan, dan Eropa.

Dengan kebijakan yang diambil Trump terhadap perusahaan China, termasuk Huawei, pola atau alur produksi yang telah terbangun terancam terganggu. Hal itu dapat menyebabkan kerugian miliaran dolar AS.

Dalam bidang keamanan, Cina dan AS pun tak lepas dari gesekan. Di Pasifik, tepatnya di Laut Cina Selatan (LCS), kedua negara itu kerap terlibat aksi provokatif. China diketahui mengklaim lebih dari 90 persen wilayah perairan internasional tersebut. Washington menolak klaim itu dengan tetap mempraktikkan kebebasan navigasi.

Pada 1-5 Juli lalu, China menggelar latihan militer di Kepulauan Xisha di LCS. AS pun segera mengecam latihan tersebut. Selain melanggar hukum, China dianggap tak menepati janjinya untuk tidak melakukan militerisasi di LCS.

Setelah melayangkan kecaman,Washington pun turut melakukan latihan militer di LCS. Untuk pertama kalinya dalam enam tahun, AS mengoperasikan USS Ronald Reagan dan USS Nimitz secara bersamaan di wilayah perairan tersebut.

Menurut Angkatan Laut AS, dua kapal induk itu sengaja dikirim untuk menentang klaim sepihak China atas LCS.

Selain LCS, isu Taiwan juga membuat AS dan China terlibat pertikaian. China diketahui memandang Taipei sebagai bagian tak terpisah dari negaranya. Namun Taiwan melakukan pembangkangan dan enggan dipaksa bergabung dengan Beijing.

Dalam situasi demikian, AS mempererat kerja sama militernya dengan Taiwan. Pemerintahan Trump bahkan telah menyetujui penjualan senjata senilai 180 juta dolar AS ke Taipei. 

China geram dan mendesak AS memutuskan hubungan militernya dengan Taiwan. Beijing meminta Washington menghormati prinsip "Satu China".

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: