Kisah Perusahaan Raksasa: Royal Dutch Shell, Kilang Cuan Eropa
Royal Dutch Shell Plc.
Royal Dutch Petroleum dan Shell Transport and Trading dibubarkan dan Shell menyatukan struktur perusahaannya pada 2004, di bawah satu perusahaan induk baru, Royal Dutch Shell plc --selanjutnya Shell.
Selama tender kontrak layanan minyak Irak 2009, sebuah konsorsium yang dipimpin oleh Shell (45%) dan yang termasuk Petronas (30%) mendapatkan kontrak produksi untuk "ladang Majnoon" di selatan Irak, yang diperkirakan berisi 12,6 miliar barel (2.00 × 109 m3) minyak. Kontrak produksi "West Qurna 1 field" diberikan kepada konsorsium yang dipimpin oleh ExxonMobil (60%) dan termasuk Shell (15%).
Pada Februari 2010, Shell dan Cosan membentuk usaha patungan 50:50, Raízen, yang terdiri dari semua etanol Brasil Cosan, pembangkit energi, distribusi bahan bakar dan aktivitas gula, dan semua bisnis bahan bakar ritel dan distribusi penerbangan Shell di Brasil.
Pada Maret 2010, Shell mengumumkan penjualan beberapa asetnya, termasuk bisnis liquid petroleum gas (LPG), untuk memenuhi biaya program belanja modal senilai 28 miliar dolar AS. Shell mengundang pembeli untuk mengajukan penawaran indikatif, yang akan jatuh tempo pada 22 Maret, dengan rencana untuk mengumpulkan 2–3 miliar dolar AS dari penjualan.
Pada Juni 2010, Shell setuju untuk mengakuisisi semua bisnis East Resources dengan nilai tunai 4,7 miliar dolar AS. Transaksi tersebut termasuk ladang gas East Resources.
Selama 2013, perusahaan memulai penjualan aset gas serpih AS dan membatalkan proyek gas senilai 20 miliar dolar AS yang akan dibangun di negara bagian Louisiana, AS.
CEO baru Shell, Ben van Beurden ditunjuk pada Januari 2014, sebelum pengumuman bahwa kinerja keseluruhan perusahaan pada tahun 2013 adalah 38 persen lebih rendah dari tahun 2012 —kibatnya nilai saham Shell turun 3 persen.
Menyusul penjualan sebagian besar aset Australia pada Februari 2014, korporasi berencana untuk menjual aset senilai 15 miliar dolar AS lagi dalam periode menjelang 2015, dengan kesepakatan diumumkan di Australia, Brasil, dan Italia.
Pada 2015, Shell setuju untuk membeli BG Group, produsen utama gas alam cair (LNG), untuk memperkuat posisinya sebagai salah satu pemimpin dalam industri LNG yang sedang berkembang.
Akuisisi ini selesai pada Februari 2016, memperluas portofolio minyak dan gas perusahaan. Dan pada 2016, Shell menciptakan bisnis Energi Baru untuk fokus pada eksplorasi dan pengembangan peluang komersial di bidang energi terbarukan, seperti angin dan matahari.
Perusahaan raksasa Inggris-Belanda melompat dua tempat ke posisi ketiga, karena pendapatannya mendekati 400 miliar dolar AS dan laba melonjak 80 persen menjadi lebih dari 23 miliar dolar AS pada 2019.
Di bawah tekanan dari investor, Shell juga mengambil langkah penting untuk mengatasi perubahan iklim ketika mengatakan pada bulan Desember bahwa mereka akan mengikat gaji eksekutif untuk mencapai target emisi karbon yang lebih rendah.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: