Pemerintah perlu memiliki prioritas yang jelas untuk mengoptimalkan penggunaan anggaran. Selain optimalisasi anggaran, pemerintah juga perlu fokus pada pembenahan produksi pangan.
Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, saat ini, pemerintah harus mengambil keputusan penting terkait prioritas dan pengalokasian dana yang terbatas.
Baca Juga: BI Sampaikan Rencana Anggaran 2021 ke DPR RI
Awal tahun ini, anggaran Kementerian Pertanian dipangkas sebesar Rp7 triliun untuk dialihkan ke penanganan Covid-19. Di saat yang bersamaan, kebutuhan stimulus dan program pokok terus bertambah, baik untuk program penguatan produksi maupun program bantuan sosial untuk petani.
Felippa menuturkan, produktivitas dan produksi pertanian Indonesia masih belum maksimal untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik. Data FAO menunjukkan jika Indonesia menghasilkan sekitar 5,1 ton beras per hektare di tahun 2018, lebih tinggi dibanding Malaysia di 4,1 ton per hektare dan Thailand 3,1 ton per hektare.
Namun, Indonesia masih kalah produktif dengan Vietnam yang bisa menghasilkan 5,8 ton per hektare. Biaya produksi beras Indonesia pun 2,5 kali lebih mahal dibanding Vietnam.
"Melihat data sepuluh tahun belakangan, belum ada peningkatan produktivitas yang signifikan meskipun ada kebijakan swasembada yang diharapkan bisa melindungi dan mendorong produksi domestik. Produksi domestik, baik nasional maupun produksi pangan lokal berbasis komunitas, harus dibenahi dengan serius," tuturnya di Jakarta, Selasa (18/8/2020).
Menurut dia, ada tiga hal yang perlu diperhatikan saat menentukan arah kebijakan sistem pangan, terlebih dengan memperhatikan konteks Covid-19. Pertama, ia menyarankan, program dan kebijakan yang diambil harus berbasis data. Langkah Kementerian Pertanian untuk menyatukan data dengan Badan Pusat Statistik perlu diapresiasi.
"Perbaikan data pertanian tersebut merupakan langkah pertama untuk pembuatan kebijakan berbasis data yang lebih rasional," tambahnya.
Kedua, program dan kebijakan yang diambil harus yang terbukti efektif dan efisien, bukan hanya program populis. Perlu ada kajian kritis dan analisis manfaat dan biaya terhadap kebijakan-kebijakan pengembangan pertanian yang ada maupun yang kurang dilakukan selama ini.
"Sebagai contoh, studi dari International Food Policy Research Institute yang bekerja sama dengan Bappenas dan Asian Development Bank (2019) menilai, pengeluaran untuk riset dan pengembangan pertanian akan memiliki manfaat yang berlipat ganda. Sementara, pengeluaran untuk perbaikan sistem irigasi maupun subsidi pupuk kurang efektif biaya," ucapnya.
Terakhir, lanjut dia, kebijakan dan program yang dicanangkan tidak boleh melalaikan aspek keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hanya demi percepatan pemulihan semata. Pemulihan pertanian dan ketahanan pangan harus mengantisipasi krisis lingkungan yang makin besar.
"Meskipun ada rasa urgensi untuk mengambil kebijakan segera, kebijakan yang tergesa-gesa malah dapat menimbulkan risiko kontraproduktif dan malah mengancam ketahanan pangan di masa depan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Puri Mei Setyaningrum