Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Gedung-gedung yang Terbakar Kala Negara Usut Kasus Besar

Gedung-gedung yang Terbakar Kala Negara Usut Kasus Besar Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Terbakarnya gedung utama Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jalan Hasanuddin, Jakarta Selatan, Sabtu (22/8) malam menyisakan sejumlah pertanyaan.

Pertama, bagaimana mungkin gedung milik pemerintah yang berdiri di lokasi sangat strategis begitu mudah terlalap api. Apa gedung itu tidak memiliki instalasi pemadam kebakaran memadai?

Kedua, di tengah pengusutan sejumlah kasus besar di lembaga penuntut umum, jangan-jangan kebakaran itu memang disengaja guna menutupi keterlibatan petinggi-petinggi Kejagung.

Sebagaimana diketahui, saat ini instansi pimpinan ST Burhanuddin tengah mengusut perkara penyalahgunaan dana di perusahaan asuransi Jiwasraya, penyidikan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang dijanjikan upah US$10 juta untuk meloloskan terpidana skandal Bank Bali, Djoko Tjandra.

Baca Juga: Gedung Terbakar Hangus, Kejagung: 100% Aman, Perkara Jalan Terus

Nilai janji sebesar kurang lebih Rp145 miliar tentu tak pantas untuk seorang Pinangki yang hanya menjabat sebagai Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan. Wajar jika muncul kecurigaan ada keterlibatan jaksa yang lebih senior dari Pinangki.

Dua kasus lainnya adalah tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan dari PT Danareksa Sekuritas ke PT Evio Sekuritas tahun 2014-2015, serta kasus dugaan korupsi importasi tekstil senilai Rp1.6 triliun pada Dirjen Bea dan Cukai pada 2018-2020.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) KejagungHari Setiyono mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum bisa menyimpulkan faktor utama penyebab terbakarnya gedung tersebut.

"Penyebab kebakaran ini masih dalam proses penyelidikan Polri, oleh karena itu teman-teman mohon sabar," kata Hari di Kejagung, Minggu (23/8/2020).

Ia lalu meminta semua pihak untuk tidak membuat spekulasi sehingga bisa menimbulkan kesesatan informasi di publik. Karena itu dia berharap menunggu hasil penyelidikan pihak kepolisian.

"Kami mohon tidak membuat spekulasi dan asumsi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, artinya mari kita sabar menunggu hasil pihak kepolisian," tambahnya.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan KeamananMahfud MD juga memintatak ada spekulasi yang terlalu jauh terkait peristiwa hangusnya gedung Kejagung.

"Spekulasi juga tak perlu terlalu jauh dikembangkan. Gedung tahanan untuk para tersangka yang ditahan di Kejagung juga ada di bagian lain yang tidak terjangkau oleh api. Pengamanan sudah diperketat," ujarMahfud di akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd, Sabtu.

Mahfud mengatakan semua dokumen perkara di Kejaksaan Agung aman. Dokumen itu disebut tidak ikut terlahap api dalam kebakaran gedung Kejagung RI, Sabtu malam.

Bukan baru kali ini sebuah gedung milik negara terbakar di tengah pengusutan perkara besar. Pada 8 Desember 1997 Menara A Gedung Bank Indonesia (BI) di lantai 23,24, dan 25 terbakar saat Kejaksaan Agung tengah sibuk mengusut penyelewengan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Jaksa Agung kala itu, Marzuki Darusman, tak ragu mengaitkan hangusnya lantai vital di Gedung BI menyebabkan raibnya dokumen BLBI. Ia pun yakin peristiwa itu tak lepas dari campur tangan penguasa lama.

Marzuki tambah pusing lantaran musibah serupa juga terjadi di Gedung Badan Pengawas Keuangan dan Pembagunan (BPKP) pada 12 Oktober 2000. Keyakinan Marzuki sejalan dengan imbauan Badan Pemeriksa Keuangan yang meminta Kejagung memeriksa tuntas dokumen yang tersisa.

Menurut BPK, kuncinya ada pada Risalah Rapat Dewan Direksi BI 15 Agustus 1997 lantaran keputusan penyaluran dana BLBI lahir dari rapat itu. Kepala BPK kala itu Satrio Boedihardjo Judono menegaskan, setidaknya anggota dewan direksi yang menghadiri rapat bisa diketahui sehingga penyeleweng-penyeleweng BLBI dapat terlacak.

Dikabarkan, pejabat BI hadir pada rapat di lantai tiga Gedung BI Menara B Jakarta saat itu adalah Sudrajad Djiwandono, Hendrobudiyanto, Heru Supraptomo, Paul Sutopo, Mansjurdin Nurdin, Boediono, Haryono, dan Muklis Rasyid.

Praktik busuk para bandit bankir seharusnya memang diketahui BI. Sebagai pengawas bank, BI pasti tahu tiap sosok bank yang curang. Audit BPK dan BPKP menemukan beberapa aturan BI yang mengakomodasi pelanggaran. Selain itu, para bankir yang melanggar ketentuan BI juga tak dikenai sanksi.

Lemahnya pengawasan BI ini bisa terlihat dari banyaknya pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK). Pengucuran kredit itu, anehnya lagi, justru mengarah pada bank yang kesulitan likuiditas lantaran terlalu banyak melanggar ketentuan BMPK.

Kebakaran yang melanda Gedung Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Kamis (12/10/2000) siang, telah menghanguskan ruang arsip, ruang kepala BPKP, dan ruang deputi khusus. Diduga berbagai dokumen penting di antaranya berkas kasus BLBI ikut hangus terbakar. Api yang muncul pada pukul 14.25 WIB itu berasal dari lantai III Gedung BPKP di Jalan Hayam Wuruk Nomor 7 Jakarta Pusat.

Akibat kebakaran tersebut, dikatakan, sejumlah data bank yang terkait dalam masalah BLBI diduga ikut terbakar. Selain data BLBI, di lantai itu tersimpan pula dokumen bank beku operasi (BBO), bank beku kegiatan usaha (BBKU), BUMN, BUMD, dan dokumen penting lainnya.

Kisah serupa juga terjadi di peristiwa terbakarnya gudang di Kementerian ESDM, Jumat (19/9/2014). Di gudang itu tersimpan dokumen barang bukti kasus yang menyeret Menteri ESDM Jero Wacik. Saat itu KPK tengah menyidik kasus pemerasan oleh Jero.

Indikasi penyelewengan muncul setelah KPK menemukan adanya perintah Jero kepada Waryono Karno, sekretaris jenderal Kementerian ESDM untuk "memainkan" anggaran Dana Operasional Menteri.

Total kerugian negara akibat korupsi ini ditaksir mencapai 9,9 milyar. Jero akhirnya divonis delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidier enam bulan kurungan oleh MA pada tingkat kasasi. Ia juga diminta membayar uang pengganti sebesar Rp5,07 miliar.

Hukuman bagi Jero itu naik dua kali lipat dari vonis di tingkat pertama. Sebelumnya, Majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis empat tahun penjara bagi Jero.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: