Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Apa Kabar Ahok?

Apa Kabar Ahok? Kredit Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo
Warta Ekonomi -

Saya pernah menulis di kolom ini pada 18 November 2019 saat Mas Erick Thohir menunjuk Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi komisaris PT Pertamina (Persero). Pro dan kontra atas penunjukan Ahok pun ramai waktu itu.

Belum genap setahun Ahok menjabat, Pertamina mengalami kerugian sebesar Rp11,13 triliun. Ramai-ramai telunjuk kesalahan diarahkan kepada Ahok. Untungnya, Mas Erick segera menenangkan bahwa banyak perusahaan minyak kelas dunia mengalami hal yang sama. Tapi, bukan itu poinnya. Ini membuktikan bahwa usaha di bidang energi minyak bumi selain memiliki risiko tinggi diperlukan keahlian khusus.

Baca Juga: Ahok Bisa Bernapas Panjang

Harga minyak dunia saat ini sekitar 40 dolar AS untuk West Texas Intermediate (WTI) per barelnya. Diperkirakan akan terus merosot akibat dampak pandemi. Untuk mengangkat emas hitam dari kedalaman kurang lebih 4 sampai 5 km di bawah permukaan tanah diperlukan biaya tidak sedikit.

Mulai dari survei menentukan titik posisi cekungan minyak sampai pengeboran. Setelah minyak terangkat perlu proses kilang untuk diurai sesuai produk yang diiinginkan. Seperti dijadikan solar, bensin, avtur, dan produk lainnya. Celakanya, kilang-kilang minyak yang kita miliki saat ini sudah terlalu tua. Kilang minyak kita tidak kompetitif untuk memproses minyak mentah (crude oil) dalam negeri.

Investasi di sektor kilang minyak tidak menarik bagi investor. Karena selain memerlukan investasi yang cukup besar, cadangan minyak kita sudah mulai menurun. Kalau dihitung antara biaya produksi dengan harga jual minyak per barelnya impas alias tidak ada keuntungan.

Untuk menyiasati permasalahan di atas, hasil minyak mentah kita diekspor ke Timur Tengah. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri kita impor dari luar negeri. Sebagai gambaran lifting atau produksi minyak bumi kita saat ini sekitar 700.000 barel per hari. Sedangkan kebutuhan konsumsi nasional sekitar 1,8 juta barel per harinya. Masih tekor separuh lebih untuk mencukupi kebutuhan minyak dalam negeri.

Belum lagi, harga impor minyak terus naik disebabkan nilai tukar dollar terhadap rupiah. Hampir dua puluh tahun belakangan ini, tidak ada penambahan sumur-sumur minyak baru sehingga lifting minyak kita hanya bertengger di angka 700.000 barel per hari.

"Jadi tukang minyak pusing. Lebih baik jadi gubernur atau ikut nyapres saja, Mo," celetuk Petruk sambil cengengesan.

Semar tidak mau komentar tentang perusahaan minyak yang rugi. Romo Semar memilih untuk menikmati nasi jagung dan urapan dari hasil kebun sendiri. Kopi pahit dan kepulan rokok klobotnya membawa angan-angan Semar ke era Kumbayana menyelamatkan minyak Tala.

Baca Juga: 5 Fakta Pertamina Tekor, Ahok Deh yang Jadi Bulan-bulanan Netizen

Kocap kacarito, Adipati Drestarastra sempat bingung saat minyak Tala milik Pandu Dewanata yang dititipkan padanya jatuh ke dalam sumur tua. Drestarastra adalah kakak Pandu Dewanata. Sebelum Pandu mangkat berpesan kepada Drestarastra bahwa kelak minyak Tala dan Kerajaan Hastina diberikan kepada Pandawa kalau sudah dewasa.

Minyak Tala memiliki energi atau kekuatan tidak mempan terhadap tebasan senjata tajam. Konon, Pandu mendapatkan minyak Tala dari para dewa. Drestarastra merasa berat untuk memegang amanah Pandu. Karena Drestarastra memiliki anak Kurawa yang menginginkan kerajaan Hastina dan minyak Tala tersebut.

Drestarastra minta tolong Kumbayana untuk mengambil minyak Tala yang jatuh ke dalam sumur. Kumbayana seorang brahmana muda dari atas angin tidak diragukan lagi kesaktian dan keahliannya. Maka dalam waktu singkat minyak Tala yang tumpah kedalam sumur tua dapat diangkat lagi dengan teknologi penyulingan batang ilalang. Atas jasanya, tersebut Kumbayana diangkat menjadi tenaga ahli di Hastina dan berganti nama Pandito Durna.

"Urusan jadi mudah kalau diserahkan pada ahlinya, Mo," sela Petruk membuyarkan lamunan Romo Semar.

"Betul, Tole. Apalagi bisnis yang memiliki risiko dan ketidakpastiaan tinggi. Jangan hanya karena ingin balas budi main tunjuk untuk menduduki jabatan strategis. Perusahaan publik dituntut memiliki pedoman tata kelola yang baik atau good corporate governance (GCG) dalam menjalankan usahanya termasuk pengangkatan direksi dan dewan komisaris sehingga saat terjadi kerugian usaha tidak saling menyalahkan." Oye.

Penulis: Ki Rohmad Hadiwijoyo

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: