PT Mirae Asset Sekuritas Indonesia, tetap merekomendasikan para investor untuk melakukan penjualan terhadap saham PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) meskipun padda Juli 2020 jumlah penumpang yang diangkut perseroan mengalami peningkatan dibandingkan dengan Mei dan Juni 2020. Tercatat, jumlah penumpang yang diangkut Garuda Indonesia masih jauh di bawah rata-rata bulanan 2019 sebesar 2,7 juta, tetapi ini menunjukkan peningkatan dari 35 ribu pada Mei 2020 dan 218 ribu pada Jun 2020.
“Kami mempertahankan rekomendasi Jual kami di GIAA dengan target harga Rp146. Meski manajemen mengklaim bahwa perbaikan harus terus dilakukan hingga akhir tahun 2020, kami yakin jumlah penumpang yang diangkut bulanan tidak akan melebihi 50%, mengingat kasus baru COVID-19 terus mencatat rekor baru. Karena volume belum pulih ke tingkat sebelum COVID19, kami memperkirakan GIAA hanya dapat membukukan pendapatan US$ 1.631 juta pada tahun 2020. Selain itu, pendapatan haji yang hilang, yang berkontribusi sekitar 5% terhadap total pendapatan selama lima tahun terakhir, karena pembatasan perjalanan, kemungkinan akan menghapus harapan kejutan pendapatan,” kata Analis Mirae Sekuritas Lee Young Jun, di Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Baca Juga: Pendapatan Merosot 90%, Garuda Tertolong Penerbangan Domestik
Selain itu, ia juga menuturkan bila manajemen Garuda juga telah menyatakan bahwa kerugian bersih tidak dapat dihindari pada tahun 2020 dan mencoba meminimalkan kerugian bersih pada tahun 2021 atau memenuhi titik impas. “Secara keseluruhan, kami memperkirakan kerugian bersih masing-masing sebesar US $ 1,1 miliar dan US $ 161,5 juta untuk tahun 2020 dan 2021,” ucapnya.
Masalah lain, yakni maskapai penrbangan milik negara ini memperpanjang masa jatuh tempo selama 3 tahun dengan kupon dan hari libur perjanjian yang sama sampai operasi kembali ke tingkat yang mirip dengan situasi sebelum COVID19. Per semester I 2020, GIAA memiliki hutang (tidak termasuk sewa) sebesar US$2.422 juta.
“Sebagian besar utang jangka pendek yang jatuh tempo pada tahun 2020 dan 2021 merupakan pinjaman bergulir untuk modal kerja. Oleh karena itu, kami tidak memperdulikan risiko solvabilitas,” jelasnya.
Baca Juga: Masih Pandemi, Garuda Optimis Balik Pendapatan 40% Akhir 2020
Kemudian, pasca wabah COVID-19, akumulasi defisit GIAA mencapai US$ 1.449 juta pada semester I 2020, menghasilkan saldo negatif dalam ekuitas pemegang saham sebesar US$ 81 juta. Sampai saat ini GIAA masih belum mendapatkan modal dari pemerintah dan masih dalam pembahasan. Manajemen mengharapkan GIAA mendapatkan modal sekitar Rp8.1 triliun di kuarttal ke empat 2020 di bawah skema obligasi konversi wajib (MCB).
“Mereka juga menambahkan bahwa kuasi reorganisasi atau opsi lain tidak sedang dibahas terkait dengan akumulasi defisit,” tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri