Penguatan fungsi pengawasan terintegrasi yang selama ini dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu dikedepankan. Sebab, marwah kelahiran OJK adalah untuk pengawasan terintegrasi. Jika ada hal-hal yang perlu diperbarui, yang perlu dilakukan adalah dengan memperkuat dan melakukan reformasi kelembagaan.
Ada enam alasan kenapa OJK didirikan. Satu, adanya konglomerasi bisnis keuangan. Dua, integrasi produk dan jasa keuangan yang makin tidak jelas. Tiga, hybrid product–adanya teknologi makin mendorong industri jasa keuangan makin canggih. Empat, arbitrase peraturan–di mana bank penuh regulasi, sedangkan IKNB lebih longgar. Lima, koordinasi lintas sektor lebih mudah. Enam, perlindungan konsumen.
Baca Juga: OJK Kasih Restu, BTN Punya 3 Bos Baru
Jika masalah dalam menjalankan fungsi pengawasan adalah kelembagaan, tinggal memperkuat dan melakukan reformasi kelembagaan.
"Apakah ini menyangkut independensi pengawasan atau soal kinerja juga tidak jelas. Pemerintah tiba-tiba akan mengembalikan pengawasan ke BI dan BI pun akan dipreteli independensinya," ujar Chairman Infobank Institute, Eko B. Supriyanto, dalam Public Discussion secara virtual bertajuk "Rapor Industri Jasa Keuangan dan Pengawasan Terintegrasi" di Jakarta, Kemarin.
Meski pengawasan konglomerasi sempat tidak terdengar, sejatinya OJK sudah menerapkan pengawasan terintegrasi. "Jika ada hal-hal yang perlu diperbarui adalah adanya silo-silo antarpengawas. Hal ini bukan salah OJK, melainkan salah undang-undangnya karena posisi ketua bukan seperti CEO atau seperti Gubernur BI," tegas Eko.
Senada, ekonom sènior INDEF Aviliani mengungkap, belajar dari pengalaman krisis 1998 dan 2008, sebenarnya kebijakan yang dikeluarkan OJK, BI, Kemenkeu, dan KSSK sudah baik. Jadi, isunya saat ini bukan lagi regulasi, tetapi bagaimana memperkuat pengawasan market conduct yang menjadi ranah OJK.
"Menurut saya isunya di market conduct jadi justru bukan regulasinya yang dikembangkan. Karena dalam market conduct, inilah sebenarnya perlindungan terhadap masyarakat dilakukan. Jadi mungkin isunya ke market conduct, bukan regulasinya," tegas Aviliani.
Sementara pengembalian fungsi pengawasan ke BI (mikro-makro prudensial) bisa jadi akan lebih efektif, pendirian OJK dulu juga untuk menghukum BI akibat banyak bank yang kedodoran, baik soal BLBI maupun soal kinerja pengawasan. Sekarang sudah dipisah, pemerintah ingin kembali.
"Indonesia pernah merasakan pengawasan di satu atap BI, lalu dipisah. Lalu, apakah akan dikembalikan lagi? Perlu kajian yang lebih dalam dan jangan sampai hanya karena nafsu politik serta kepentingan sesaat," papar Eko.
Tak beda jauh, ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah menuturkan, di masa pandemi Covid-19, isu stabilitas sistem keuangan dinilai lebih penting ketimbang membicarakan pengalihan pengawasan perbankan dari OJK ke BI.
"Isu industri keuangan sangat penting, tapi sangat disayangkan karena di tengah keterpurukan kita baik dari sisi kesehatan dan ekonomi, kita justru disibukkan oleh isu-isu yang menurut saya tidak produktif. Isu dewan moneter, isu pengalihan pengawasan bank dari OJK ke BI hanya mmunculkan kegaduhan," ucap Piter.
Seharusnya, lanjut dia, semuanya pasti paham bahwa proses reformasi keuangan sudah berjalan setelah krisis 1998 dengan memperkuat BI, membentuk LPS, OJK, dan UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK). Hal itu, menurutnya, sudah membuat kondisi sektor keuangan Indonesia jadi lebih baik sehingga pengembalian pengawasan dari OJK ke BI menjadi tidak efektif.
"Itu sudah membuat kita lebih baik. Kalau tidak ada proses reformasi itu, ketika kita menghadapi pandemi mungkin akan lebih terpuruk lagi. Jangan bandingkan kondisi saat ini dengan kondisi tidak adanya pandemi. Kita harus lihat kondisi sekarang dalam konteks adanya pandemi dan kita masih lebih baik dan itu tidak lepas dari membangun, memperkuat kelembagaan di sektor keuangan," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: