Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kasus Covid-19 Tembus 5 Juta, India Justru Buka Wisata Taj Mahal

Kasus Covid-19 Tembus 5 Juta, India Justru Buka Wisata Taj Mahal Taj Mahal. India. | Kredit Foto: Unsplash/Julian Yu
Warta Ekonomi, New Delhi -

Pemerintah India membuka Taj Mahal untuk masyarakat umum sekalipun angka penyebaran virus corona Covid-19 masih tinggi, bahkan India nyaris menyalip Amerika Serikat (AS).

Saat ini, jumlah pasien Covid-19 di India mencapai 5,4 juta orang dengan angka infeksi rata-rata sekitar 100 ribu orang dan angka kematian 1.000 orang per hari.

Baca Juga: Mengupas Strategi Kalajengking India, Bisa Bikin China Kejang-Kejang!

Namun, Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi mengalami dilema. Lockdown yang diterapkan pada Maret sulit untuk diimplementasikan dengan baik karena kurangnya kerja sama dari masyarakat.

Adapun imbasnya telah mengguncang puluhan juta warga lokal. Kondisi itu memaksanya memperlonggar lockdown secara bertahap.

Menilik riwayat, Modi telah membuka lockdown berurutan mulai dari moda transportasi darat, udara, pasar, restoran, dan sekarang tempat wisata seperti Taj Mahal.

Taj Mahal merupakan salah satu ikon global India yang terletak di wilayah Agra. Biasanya, sebanyak tujuh juta wisatawan mengunjungi bangunan marble putih tersebut.

Pihak pengelola Taj Mahal menyatakan protokol kesehatan tetap akan diterapkan, mulai dari pembatasan sosial hingga pembatasan pengunjung sebanyak 5.000 orang per hari atau seperempat dari hari normal.

Tiket masuk juga tidak akan dijual di tempat, tapi secara online. Selain itu, petugas keamanan akan berpatroli untuk mengawasi pengunjung.

“Banyak orang kehilangan pekerjaan selama lockdown. Kami rakyat sangat menderita dan kini sudah waktunya negara kembali dibuka,” kata karyawan bank Ayub Sheikh (35).

“Kami tidak takut dengan virus karena virus ada di mana-mana dan tidak akan pergi. Jadi kita semua harus beradaptasi. Untuk apa kita menghindari virus, tapi mati kelaparan?” 

Pemerintah India juga akan kembali memulihkan kegiatan belajar mengajar di kelas untuk siswa usia 14-17 tahun. Namun, tidak semua wilayah mengikuti imbauan tersebut.

Pasalnya, banyak sekolah dan orang tua yang menolak dan melayangkan protes.

“Saya lebih baik melihat anak saya tidak lulus daripada sakit,” kaga Nupur Battacharya.

Pemerintah Korea Selatan (Korsel) dan Australia juga kembali memperlonggar lockdown. Korsel bahkan mulai membuka kembali kelas mengajar, meskipun sudah dua kali terkena gelombang Covid-19.

Sebagai langkah antisipasi, para murid di Korsel akan menjalani dua kelas, yakni kelas offline dan online dengan harapan pembagian jadwal merata.

Dunia internasional saat ini sedang mengalami resesi. Hampir semua negara-negara maju di dunia terpaksa mengeluarkan paket bantuan miliaran dollar AS demi menjaga stabilitas dan keberlangsungan ekonomi nasional.

Meski tidak separah krisis 1998, pertumbuhan negatif ekonomi riil memberikan dampak yang luas.

Australia menjadi negara teranyar yang melaporkan adanya pertumbuhan negatif. Peristiwa itu tidak pernah menimpa Australia sejak hampir 30 tahun yang lalu.

Seperti dilansir BBC, Produk Domestik Bruto (PDB) Australia menyusut sebesar 7% pada kuartal kedua (Q2) dibandingkan Q1, terburuk sejak tahun 1959. 

Padahal, Australia pernah selamat dari krisis moneter pada 2008 mengingat perdagangan dengan China stabil. Tahun ini, Australia tidak dapat mengelak.

Selain terjadi bencana alam seperti kebakaran hutan yang sangat ekstrem, Australia juga terkena wabah virus corona Covid-19 yang menyebar luas ke negara lain.

Pertumbuhan ekonomi Australia menurun menyusul rendahnya daya beli masyarakat.

Sekalipun pemerintah dan bank sentral memberikan bantuan keuangan, sebagian bisnis dan perusahaan tidak mampu bertahan dan ambruk. Kendati begitu, Australia masih beruntung dibandingkan negara maju lain.

Ekonomi Amerika Serikat (AS) menyusut hingga 9,5%, sedangkan Prancis dan Jepang masing-masing menyusut 13,8% dan 7,6%.

Inggris bahkan mengalami penurunan hingga 20,4%. Dampaknya di lapangan besar. Selain daya belanja masyarakat menurun, banyak toko dan pabrik di berbagai sektor yang bangkrut. 

Seperti dilansir BBC, penurunan ini tidak terlepas dari kebijakan lockdown yang melumpuhkan aktivitas bisnis, investasi, dan ekonomi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: