Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Emiten Penerbangan Kompak Dapat Rapor Merah, Siapa yang Paling Berdarah-Darah?

Emiten Penerbangan Kompak Dapat Rapor Merah, Siapa yang Paling Berdarah-Darah? Kredit Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sektor penerbangan mengalami turbulensi hebat lantaran dihantam oleh pandemi Covid-19. Penghentian penerbangan yang sempat dilakukan guna mencegah penyebaran virus corona berimbas pada lumpuhnya aktivitas bisnis maskapai penerbangan.

Akibatnya, perusahaan tak mendapat pemasukan selama aktivitas penerbangan terhenti. Walau saat ini mulai kembali bergeliat, aktivitas bisnis masih diwarnai oleh berbagai tantangan, salah satunya adalah pembatasan jumlah penumpang dalam sekali penerbangan yang akhirnya membuat kinerja keuangan menjadi kurang maksimal.

Baca Juga: Top! Kabar Terbaru dari Perusahaan Milik Erick Thohir, Ternyata Eh Ternyata.....

Baca Juga: Bertambah Panjang, Ini Daftar Emiten Properti dalam Pusaran Pailit

Bahkan, dalam enam bulan pertama tahun 2020 ini tiga emiten penerbangan di Bursa Efek Indonesia (BEI) kompak mendapat rapor merah. Tak ada satu pun yang mampu menghindar dari kerugian usaha. Lantas, siapakah emiten yang paling berdarah-darah pada semester I 2020 ini? simak ulasan berikut.

1. Garuda - Rugi Rp10,34 Triliun

Maskapai pelat merah, PT Garuda Indonesia Tbk (Tbk) menempati urutan pertama sebagai emiten penerbangan yang mengalami turbulensi hebat sepanjang enam bulan pertama tahun 2020. Tekanan di industri penerbangan akibat pandemi Covid-19 membuat Garuda harus menelan rugi hingga US$712 juta atau setara Rp10,34 triliun pada semester I 2020. 

Padahal, Garuda mampu mengantongi laba bersih sebesar US$24,11 juta pada semester I 2019 lalu. Tumbangnya kinerja Garuda sudah terjadi sejak awal tahun. Emiten BUMN itu mengantongi rugi US$120,1 juta pada kuartal pertama tahun 2020. Kondisi tersebut diperparah oleh anjloknya pendapatan Garuda di tengah berbagai kebijakan pencegahan penyebaran Covid-19 di Indonesia yang berimbas pada menurunnya jumlah penumpang.

Baca Juga: Tahan Banting Lawan Covid-19, Siapa Jawara Farmasi di Indonesia? Bukan Kimia Farma!

Sampai dengan Juni 2020, Garuda hanya mampu membukukan pendapatan sebesar US$917,28 juta atau setara Rp13,3 triliun. Angka tersebut menurun 58,18% dari pendapatan pada Juni 2019 lalu yang mencapai US$2,19 miliar.

Kontributor terbesar atas pendapatan Garuda ialah diperoleh dari penerbangan berjadwal sebesar US$750,25 juta. Namun, capaian tersebut tercatat lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai US$21,5 juta. Kontributor pendapatan berikutnya adalah dari penerbangan tidak berjadwal sebesar US$21,5 juta, naik dari tahun sebelumnya yang hanya US$4,3 juta.

Direktur Layanan, Pengembangan Usaha, dan Teknologi Informasi Garuda, Ade R. Susardi, mengungkapkan bahwa Mei 2020 merupakan periode di mana aktivitas penerbangan Garuda jatuh ke jurang terdalamnya. Kala itu, Garuda hanya mengoperasikan 30 penerbangan dalam sehari, hampir setengahnya merupakan penerbangan kargo. Kondisi tersebut dikatakan Ade mulai membaik pada Agustus hingga September 2020 ini.

"Sekarang rata-rata 7.000 sampai 8.000 per hari. Kita harapkan semua menjadi lebih baik, jumlah penumpang lebih banyak, hal itu yang bisa menyelamatkan Garuda ke depan," pungkas Ade secara virtual pada 3 September 2020.

Ia menambahkan, kinerja Garuda sangat terbantu oleh membaiknya aktivitas penerbangan domestik pada bulan-bulan terakhir ini. Walau diakui belum signifikan, setidaknya pasar domestik sudah mulai bangkit pada saat pasar internasional masih menghadapi banyak tantangan.

"Masing untung, kita punya pasar domestik yang cukup kuat dan besar. Walaupun di internasional banyak kendala, di domestik kita sudah mulai bangkit kembali," sambungnya.

2. AirAsia - Rugi Rp909,07 Miliar

Bisnis penerbangan PT AirAsia Indonesia Tbk (CMPP) terguncang oleh pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020. Emiten penerbangan itu pun tak bisa menghindari kerugian yang angkanya membengkak signifikan hingga 1.002% dari Rp82,53 miliar pada semester I 2019 menjadi Rp909,07 miliar pada semester I 2020. 

Baca Juga: AirAsia Indonesia Telan Pil Pahit, Rugi Hampir Tembus Rp1 Triliun

Kian membesarnya kerugian tersebut tidak terlepas dari anjloknya pendapatan perusahaan sedalam 55,15% dari Rp2,99 triliun pada Juni 2019 menjadi hanya Rp1,32 triliun pada Juni 2020 ini. Diakui manajemen perusahaan, anjloknya pendapatan dan membengkaknya rugi AirAsia merupakan imbas dari tekanan industri penerbangan di tengah pandemi Covid-19. 

Pertumbuhan pendapatan dari penerbangan berjadwal kargo sebesar 64,84% menjadi Rp51,01 miliar pada Juni 2020 tak cukup mampu menyelamatkan pendapatan maskapai penerbangan ini. Pasalnya, di dua pos pendapatan lainnya, AirAsia membukukan penurunan signifikan. Penurunan paling tajam terjadi di pendapatan bagasi yang amblas 63,41% menjadi Rp121,53 miliar. Sementara itu, pendapatan penerbangan berjadwal anjlok hingga 55,57% menjadi Rp1,09 triliun.

Perlu diketahui, sepanjang semester I 2020, AirAsia tidak membukukan beban sewa pesawat seiring dengan adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Sementara itu, beban usaha bahan bakar tercatat turun sebesar 37,26% menjadi Rp746,79 miliar. 

Meskipun demikian, Direktur Utama AirAsia, Veranita Yosephine, mengatakan bahwa perusahaan tak akan tinggal diam begitu saja di tengah kerugian yang diderita AirAsia. Ia menyampaikan, manajemen berkomitmen untuk meningkatkan pendapatan, salah satunya dengan mengembangkan rute penerbangan.

"Berkaitan dengan peningkatan revenue dan pengembangan rute itu merupakan strategi penting untuk mengatasi kerugian, mengingat cash flow menjadi prioritas saat ini," pungkasnya dalam paparan publik secara virtual pada 24 September 2020 kemarin.

3. Indonesia Transport (IATA) - Rugi Rp29,64 Miliar

Nasib yang serupa juga dialami oleh perusahaan transportasi udara milik Hary Tanoesoedibjo, yakni PT Indonesia Transport & Infrastructure Tbk (IATA). Dilansir dari laporan keuangan perusahaan, IATA membukukan rugi bersih sebesar US$2,12 juta ataua setara Rp29,64 miliar pada semester I 2020. Angka tersebut membengkak 75,20% dari tahun sebelumnya yang hanya US$1,21 juta.

Bersamaan dengan itu, pendapatan IATA juga amblas sedalam 39,73% dari US$8,18 juta pada Juni 2020 menjadi hanya US$4,93 juta pada Juni 2020. Hampir semua sumber pendapatan IATA mengalami penurunan pada enam bulan pertama tahun ini. Penurunan paling dalam terjadi di pendapatan bisnis jasa sewa pesawat spot charter, yakni dari US$3,39 juta pada tahun 2019 menjadi US$494,64 ribu pada tahun 2020.

Pendapatan dari port management fee juga ikut terkontraksi pada periode tersebut. Jika Juni 2019 IATA mengantongi pendapatan US$3,01 juta dari pos ini, angkanya turun menjadi US$1,23 juta pada Juni 2020. Untungnya, pendapatan dari jasa sewa pesawat contract charter mengalami kenaikan dari US$2,77 juta pada 2019 menjadi US$3,21 juta pada 2020.

Pada dasarnya, IATA berhasil menekan sejumlah pos beban pada awal tahun 2020 ini. Misalnya beban usaha turun dari US$2,69 juta pada tahun lalu menjadi US$2,22 juta pada tahun ini. Begitu juga dengan beban pembiayaan yang angkanya turun dari US$723,42 ribu menjadi US$421,45 ribu. Beban pendapatan juga turun drastis dari US$344,46 ribu pada tahun lalu menjadi US$98,48 ribu pada tahun ini. 

Hanya saja, IATA tidak bisa terhindar dari kerugian lantaran pendapatan bunga mengalami penurunan signifikan dari US$2.187 menjadi US$389 pada enam bulan pertama tahun ini. IATA juga mengalami rugi selisih kurs sebesar US$791,59 ribu, di mana pada tahun sebelumnya tercatat untung selisih kurs sebesar US$131,71 ribu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Lestari Ningsih
Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: