Rudal-rudal Houthi Kembali Gagal Tembus Pertahanan Udara Saudi
Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi mengumumkan kembali menggagalkan rencana serangan teroris kelompok Houthi, Yaman, di wilayah selatan Laut Merah.
Seperti dikutip kantor berita Reuters dari televisi pemerintah Saudi, Al-Arabiya, Senin (5/10/2020) waktu setempat, pasukan koalisi Saudi berhasil menemukan dan menghancurkan kapal milik pasukan yang dipercaya didukung oleh Iran, penuh bahan peledak. Kapal ini ditemukan di pelabuhan di Distrik As-Salif.
Baca Juga: Parah! Pangeran Arab Saudi Malah Salahkan Palestina yang Tolak Normalisasi Hubungan
Di saat yang sama, pasukan koalisi Arab Saudi masih terlibat baku serang dengan pemberontak Houthi di kawasan Marib, Yaman. Roket dan peluru yang terus dilontarkan kedua belah pihak memaksa ribuan orang mengungsi.
Perang di Yaman tampak belum ada tanda-tanda akan usai, karena wilayah serangan terus meluas. Beberapa kilometer dari Marib, kini berdiri kamp pengungsi. Mereka dulunya adalah warga Marib, tapi terpaksa mengungsi, karena perang terus mendekati wilayah mereka.
"Di sini ada lebih dari 1.500 kepala keluarga. Mereka sudah tiga kali pindah. Mereka kekurangan air, makanan dan bantuan medis," ujar penanggung jawab kamp pengungsi al-Sowaida, Mohsen Mushalla dikutip Reuters, Senin (5/10/2020).
"Mereka tidak punya akses listrik dan rumah sakit. Mencari air saja sudah sulit. Kota terdekat berjarak 10 kilometer dari kamp pengungsi."
Marib merupakan kota pemerintahan sementara Yaman, setelah kota Sanaa digempur pasukan Houthi akhir 2014 lalu.
Perang yang menyebabkan krisis kemanusiaan terburuk di dunia ini menemui jalan buntu selama bertahun-tahun. Pemerintahan Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi juga memerangi separatis di wilayah selatan.
Beberapa diplomat dan pengamat mengatakan, bahwa kemenangan pemberontak Houthi di Marib, akan membuat kelompok mampu mengendalikan secara penuh atas separuh utara Yaman.
Selanjutnya, kondisi ini dapat memicu efek gelombang pada konflik di Yaman dan menghalangi upaya PBB mendorong gencatan senjata secara nasional.
Pasukan Houthi telah membuka tiga wilayah kekuasaan di wilayah Marib. Mereka berhasil menguasai distrik utara Madghal, kemudian bergerak ke wilayah selatan Rahabah dan dari barat di Sarwah.
Kelompok yang didukung Iran ini telah merebut enam distrik dan sebagian besar kota Sarwah, yang terletak 80 km dari kota Marib. Marib sendiri merupakan garis pertahanan terakhir sebelum ladang gas dan minyak terbesar di Yaman.
"Marib adalah operasi militer bagi kedua belah pihak. Tapi kota ini adalah poin untuk menekan Houthi di meja perundingan," kata seorang diplomat yang terlibat dalam pembicaraan perdamaian.
"Untungnya, pertempuran telah melambat selama dua pekan terakhir, berkat dialog tidak langsung Houthi-Saudi dan pertempuran sudah membuat kedua belah pihak kelelahan," sambungnya.
Saudi dan Houthi memang sudah mulai melakukan dialog tertutup sejak akhir tahun lalu. Kekerasan dan perang terus meningkat sejak Utusan Khusus PBB untuk Yaman, Martin Griffiths menekan kedua belah pihak untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata.
Kesepakatan itu diharapkan membuka jalan negosiasi untuk mengakhiri perang yang telah menewaskan lebih dari 100.000 orang itu.
Awal bulan ini, Griffiths mengatakan kepada Dewan Keamanan PBB, bahwa dia sudah mengirim draf lanjutan dialog perdamaian Saudi-Houthi dan memperingatkan komunitas internasional untuk tidak meremehkan kepentingan politik di Marib.
PBB mencatat, dampak pertempuran di Marib telah membuat hampir 1 juta orang mengungsi dan mengancam sekitar 750 ribu pengungsi yang telah menetap di kota itu sejak perang dimulai pada 2014.
Suasana di kawasan Marib pun makin mencekam, walau satu dua kegiatan warga masih terlihat.
"Saya melarikan diri dari pertempuran di Aden. Kota ini menampung pengungsi dari seluruh Yaman ... kami meminta komunitas internasional untuk menghentikan serangan rudal di kota, karena hanya pengungsi dan anak-anak yang menerima dampaknya," kata Nermeen al-Hashidi, seorang warga Marib.
Di kamp al-Sowaida, tenda-tenda didirikan di tengah perbukitan gurun yang tinggi, dan anak-anak berjalan tanpa alas kaki. Sementara yang lain minum air langsung dari penampungan air yamg terus tersengat matahari.
“Saya memiliki seorang istri dan lima anak yang tinggal di tenda ini. Organisasi internasional telah memberi kami tempat berlindung. Tapi saya tidak yakin ini akan sangat membantu," kata Mohamad Abdullah Qassim, seorang pengungsi.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: