Sebanyak enam orang laskar Front Pembela Islam (FPI) tewas ditembak polisi di Kilometer 50 Tol Jakarta-Cikampek (Japek). Peristiwa itu terjadi saat mereka sedang mengawal perjalanan Habib Rizieq Shihab.
Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ikut turun tangan mengusut perkara ini. Para pihak terkait telah dimintai keterangan untuk memperjelas kasus tersebut. Begitu juga Kepolisian yang telah melakukan rekonstruksi peristiwa penembakan itu.
Baca Juga: Sebut Keadilan Itu Sulit, Mahfud MD Diberondong Kasus Rizieq Shihab dan FPI
Sekretaris Umum FPI yang juga kuasa hukum korban, Munarman, menegaskan bahwa pihaknya menolak penanganan perkara dan rekonstruksi yang telah dilakukan aparat Kepolisian.
"Pertama, kami menolak penangangan perkara dan rekonstruksi atau reka ulang atas tragedi pembunuhan dan pembantaian terhadap enam syuhada anggota Laskar FPI dilakukan oleh pihak Kepolisian," ujar Munarman melalui keterangan tertulisnya, Selasa (15/12/2020).
Kedua, kata Munarman, pihaknya meminta kepada Komnas HAM menjadi leading sector untuk mengungkap tragedi pembunuhan ini. Sebab, peristiwa tersebut merupakan pelanggaran HAM berat.
Ketiga, lanjut dia, penanganan perkara yang dilakukan oleh pihak Kepolisian dengan menggunakan ketentuan Pasal 170 KUHP Jo. Pasal 1 (1) dan (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan atau Pasal 214 KUHP dan atau Pasal 216 KUHP adalah tidak tepat karena justru menjadikan enam anggota Lakskar FPI tersebut sebagai pelaku. Padahal sejatinya, mereka adalah korban.
"Lagi pula, secara hukum acara pidana, dengan mengikuti alur logika pihak kepolisian, penanganan perkara yang tersangkanya sudah meninggal tidak bisa lagi dijalankan. Janganlah kita bodohi rakyat Indonesia dengan drama komedi yang tidak lucu lagi," tandas Munarman.
Keempat, Munarman meminta kepada semua pihak untuk menghentikan spiral kekerasan terhadap enam anggota Laskar Pembela Islam. "Keenam korban hanya para pemuda lugu yang mengabdi kepada gurunya, menjaga keselamatan gurunya, dan berkhidmat untuk agama," ucapnya.
"Jadi jangan sampai keenam syuhada tersebut menjadi korban dari spiral kekerasan, yaitu secara berulang-ulang dan terus-menerus menjadi korban kekerasan, mulai dari kekerasan fisik dengan terbunuhnya mereka, berlanjut dengan kekerasan verbal berupa fitnah yang memosisikan mereka seolah pelaku, dan berlanjut lagi dengan kekerasan struktural yaitu berupa berbagai upaya rekayasa terhadap kasus mereka," tambah Munarman.
Kelima, Munarman mengecam sikap dan ucapan Presiden Joko Widodo yang justru memberikan justifikasi terhadap tindak kekerasan negara terhadap warga negara sendiri. Menurutnya, ini merupakan bukti kekerasan struktural yang paling nyata yang dilakukan oleh penguasa dan akan melanjutkan tembok impunitas terus berlanjut terhadap aparat negara yang melakukan berbagai pelanggaran HAM terhadap rakyatnya sendiri.
"Apalagi, dunia saat ini sedang dalam momen memperingati Hari HAM sedunia. Jangan sampai Indonesia dikenal di dunia sebagai bangsa tidak beradab karena menjadikan nyawa rakyat sebagai permainan drama komedi yang tidak lucu," tutup Munarman.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum