Meskipun lahir dengan berbagai potensi yang luar biasa, industri perkebunan kelapa sawit nasional terus menghadapi tantangan yang semakin berat. Belum usai dengan penolakan produk kelapa sawit di Swiss, perhatian Presiden Amerika Serikat terpilih, Joe Biden terhadap anggaran perubahan iklim diyakini akan menjadi darah baru bagi pihak antisawit.
Perlu diketahui, kampanye penolakan minyak sawit di Swiss telah bergulir sejak pertengahan tahun 2020 lalu. Dimulai dari referendum penolakan produk sawit Indonesia yang digagas sejumlah LSM dengan menggalang tanda tangan dari masyarakat Swiss yang diakui telah berhasil mengumpulkan sebanyak 61.184 petisi dan sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung Swiss.
Baca Juga: Kelapa Sawit itu Minyak Nabati Penting, Mengapa?
Ketua Bidang Komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Tofan Mahdi mengatakan ini bagian dari strategi besar atau upaya sistematis dari negara maju untuk menghadang ekspansi produk minyak sawit Indonesia masuk ke negara mereka.
"Memang itu menjadi masalah kita di Eropa dan sejumlah negara lainnya.” Tofan menjelaskan, kondisi ini akan terus terjadi selama pangsa pasar sawit masih menjadi minyak nabati nomor wahid di dunia.
Hal ini menjadi bagian dari perang dagang negara-negara Eropa dan negara maju lainnya untuk menghadang masuknya minyak sawit Indonesia dan Malaysia.
"Mereka melakukan upaya untuk menjatuhkan reputasi dari produk minyak sawit, termasuk negara-negara Skandinavia. Walaupun negara-negara Skandinavia menyatakan tidak memboikot produk sawit Indonesia, namun mereka menjadi penyumbang dana terbesar untuk aksi penolakan sawit," ungkap Tofan.
Lebih lanjut Tofan menjelaskan, kondisi serupa akan terjadi di Amerika Serikat lantaran komoditas sawit Indonesia akan mendapatkan tantangan besar di masa kepemimpinan Presiden AS Joe Biden.
"Kalau Donald Trump menghapus dana perubahan iklim, Joe biden ini menegaskan climate change ini menjadi perhatian besar, itu dana perubahan iklim akan semakin besar dan dialokasikan untuk menggempur industri sawit, 2021-2025 ini akan menjadi ancaman besar. Sebab, dimasa Presiden Joe Biden ini, LSM anti sawit akan semakin agresif," kata Tofan.
Isu sawit yang dibawa LSM trans-nasional tersebut perlu diwaspadai karena dapat menjadi bahan kampanye LSM di dalam negeri. Itu sebabnya, semangat nasionalisme LSM di Indonesia jangan sampai luntur. Dari situasi ini, Tofan mengatakan, para pihak terkait di dalam negeri harus kompak, sebab ancaman terhadap sawit tidak dapat dihadapi sendiri oleh pelaku industri. Butuh dukungan dan kerjasama semua pihak untuk membendung isu negatif.
"Jika kita sudah kompak, sebetulnya kita tidak terlalu khawatir. Uni Eropa adalah pasar nomor tiga, memang besar tapi kita juga punya pasar China, India, Pakistan, dan Afrika yang merupakan pasar strategis yang harus dioptimalkan," jelas Tofan.
Tofan juga mengatakan, kegiatan promosi sawit telah berjalan baik melalui lembaga pemerintah seperti BPDPKS. Kampanye positif juga perlu menggandeng kementerian lain seperti Kementerian Kominfo, Kementerian Ristek Dikti serta Kementerian Pendidikan dan kebudayaan.
“Sawit telah menjadi komoditas strategis dan penyeimbang neraca dagang. Kemampuan ini perlu dipertahankan supaya daya saing maupun kontribusinya tetap terjaga,” tandas Tofan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Alfi Dinilhaq