Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Bivitri Susanti mengatakan penurunan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2020 juga disebabkan sempitnya ruang gerak masyarakat pada periode tersebut.
"Kenapa IPK begitu turun, bukan hanya karena pandemi tapi juga sempitnya ruang bergerak masyarakat sipil karena korupsi kekuasaan, penyalahgunaan kekuasaan wujudnya nyata dalam korupsi," kata Bivitri dalam diskusi virtual yang diadakan Transparency International Indonesia (TII) di Jakarta, Kamis.
Pada Kamis ini TII memaparkan IPK Indonesia pada 2020 mengalami penurunan, yaitu turun 3 poin dari skor 40 pada 2019 menjadi 37 pada 2020. Skor dari 0 berarti sangat korup dan 100 sangat bersih.
Hal itu menyebabkan peringkat Indonesia di antara negara-negara juga ikut turun yaitu berada di peringkat 102 dibanding pada 2019 yang ada di peringkat 85 dari 180 negara yang disurvei. Skor dan peringkat Indonesia sama seperti salah satu negara di benua Afrika, Gambia.
"Aparat penegak hukum bukan untuk keadilan tapi untuk tujuan-tujuan bukan hukum, bukan hanya terjadi kekerasan hukum tapi kekerasan fisik makin terbuka dan tanpa ada sanksi atau minimal seperti dalam protes-protes mahasiswa ketika revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja," tambah Bivitri.
Bivitri menilai hal tersebut dapat berbahaya karena hukum bisa membungkam demokrasi melalui produk hukum atau aparat yang dikontrol aktor politik formal dalam wujud UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Cipta Kerja dan UU lainnya.
"Hal tersebut akan terus merobohkan demokrasi, dibuat aktor-aktor politik formal yang tidak dapat kita kontrol karena aturan main partai politik membuat mereka dikuasi elit politik dan oligarki melalui prosedur-prosedur demokrasi yang ada," ungkap Bivitri.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat