Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

IBSW Sepakat dengan Sekjen PDIP, SBY Pura-Pura Terzalimi

IBSW Sepakat dengan Sekjen PDIP, SBY Pura-Pura Terzalimi Kredit Foto: Antara/Olhe

Nova juga menyatakan bahwa ia sependapat dengan ungkapan Hasto, bahwa hal yang dilakukan SBY merupakan sebuah bukti bahwa ia tidak memenuhi dan mempraktekkan hukum moralitas sederhana dalam politik terkait kata dan perbutan yang dilakukannya, sampai bertindak seakan-akan menjadi pihak yang dizolimi Megawati. 

"Saya setuju dengan tanggapan Pak Hasto terkait permasalahan ini," ujar Nova. 

Dengan demikian, Nova mendukung tanggapan Hasto yang substansinya SBY mengeksploitasi politik pencitraan seolah dirinya dizolimi yang bertujuan meraih belas kasih publik.

Nova juga mengungkap bahwa untuk mendapatkan simpati dan dukungan dari publik luas, tak melulu harus dengan mempraktekkan teori politik Viktimisasi yang pernah diterapkan Partai Demokrat. 

"Karena masyarakat pun kini menjadi lebih kritis dalam menilai praktek kegiatan berpolitik di Indonesia," tuturnya. 

Teori politik viktimisasi dan pencitraan yang tidak essensi adalah potret rapuhnya demokrasi, publik semakin cerdas memahami demokratisasi Indonesia, " ucap Nova.

Keadaan SBY yang merasa menjadi pihak yang dizolimi pun terlihat diikuti polanya dalam kepemimpinan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang tengah mempraktekkan teori politik Viktimisasi atau memposisikan diri sebagai korban dalam isu kudeta Partai Demokrat. 

Analis Politik dan pimpinan Lembaga Survei Nasional (LSN), Umar S. Bakry, mengatakan bahwa dalam ranah politik praktis, para pakar Viktimisasi mengamati korban atau victimhood sering menjadi salah satu posisi politik yang menguntungkan sehingga banyak aktor politik menempatkan diri sebagai victimhood atau sebagai korban. 

Hasto juga mengungkapkan sebuah kisah yang disampaikan oleh Alm. Prof. Dr. Cornelis Lay, bahwa sebelum Pak SBY ditetapkan sebagai Menkopolhukam di Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Presiden Megawati Soekarnoputri, saat itu ada elite partai yang memertanyakan keterkaitan Pak SBY sebagai menantu Pak Sarwo Edhie yang dipersepsikan berbeda dengan Bung Karno, dan juga terkait dengan serangan kantor DPP PDI tanggal 27 Juli 1996. 

"Yang mana dalam penetapan Pak SBY sebagai Menkopolhukam ditegaskan oleh Bu Mega bukan karena Pak SBY menantu Pak Sarwo Edhie, namun karena beliau adalah TNI, Tentara Nasional Indonesia. Disini terlihat jelas sikap Bu Mega yang lebih mengedepankan rekonsiliasi nasional dan semangat persatuan," ujarnya.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: