Kasus pemberian status Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) kepada PT Gunung Raja Paksi (GRP) terus bergulir dan memunculkan babak baru. Terkini, permintaan sejumlah nominal untuk imbalan jasa pengurus dalam kasus tersebut juga jadi persoalan lantaran dinilai tidak fair karena tidak sesuai dengan tingkat kerumitan kasus yang harus diurus. Alhasil, sejauh ini belum ada kesepakatan terkait nominal yang diajukan oleh pengurus sebesar Rp80 miliar tersebut. “Apakah layak kasus yang tingkat pengurusan dan penanganannya tergolong tidak rumit ini ditagih sekian mahalnya? Meski di Permenkumham memang telah diatur mengenai nilai persentasenya, namun parameter yang digunakan juga harus jelas dalam mencharge nilai fee. Standarnya paling tidak harus dinilai berdasarkan tingkat kerumitan. Kalau mau fair tim pengurus harus menjelaskan dasar dari tagihan yang sedemikian mahalnya itu apa?” ujar Kuasa Hukum GRP, Rizky Hariyo Wibowo, kepada media, Sabtu (6/3).
Menurut Rizky, pihaknya sejauh ini tidak pernah meminta proses restrukturisasi. Semua proses penyelesaian pun dilakukan sesuai kesepakatan awal dengan para kreditor. Selain itu proses penyelesaiannya pun tergolong cepat dan tidak bertele-tele. “Jadi (pengurus) menagih sekian mahalnya itu dasarnya apa? Apakah proses ini bagi pengurus dianggap sangat rumit? Rumitnya itu di mana?” keluh Rizky. Dikatakannya, angka tagihan tersebut oleh pihak pengurus didasarkan pada hasil perhitungan total utang yang sudah jatuh tempo dan belum jatuh tempo milik GRP, yang lalu kemudian dikalikan empat persen. “Padahal pada sidang 1 Maret 2021, Hakim Pengawas dan mayoritas Kreditur telah menyepakati bahwa pembayaran hanya dilakukan untuk utang-utang yang telah jatuh tempo saja,” tutur Rizky.
Sementara itu, kuasa hukum GRP yang lain, yaitu Harmaein Lubis, juga menyoroti penghitungan jumlah fee untuk pengurus yang dihitung berdasarkan presentase. Harusnya, menurut Harmaein, jumlah fee pengurus dihitung berdasarkan jumlah jam kerja dan biaya operasional yang telah dikeluarkan pihak pengurus selama proses hokum berlangsung. “Kasus ini spesial, di mana kita menggunakan Pasal 259 untuk Pencabutan PKPU yang terdapat kekosongan terkait fee Pengurus. Kami menyimpulkan perhitungannya berdasarkan hourly atau jam kerja berdasarkan Permenkumham Tahun 2017,” ujar Harmaein.
Dalam Permenkumham RI No. 2 Tahun 2017, imbalan jasa bagi Kurator dan Pengurus untuk PKPU yang berakhir dengan perdamaian diatur dengan ketentuan paling banyak 5,5 persen dari nilai utang yang harus dibayarkan. Namun, Harmaein menambahkan, hal ini tidak berlaku karena landasan yang digunakan ialah Pencabutan PKPU Pasal 259, bukan landasan homologasi atau perdamaian. “Kita bisa melihatnya dari tingkat kerumitan dan jam kerja Pengurus juga. Tidak tepat kalau menggunakan aturan persentase,” tegas Harmaein.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Taufan Sukma
Editor: Taufan Sukma