Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tuduhan untuk Sawit Tidak Relevan dan Salah Alamat

Tuduhan untuk Sawit Tidak Relevan dan Salah Alamat Pekerja menimbang tandan buah segar sawit di sebuah RAM Kelurahan Purnama Dumai, Riau, Rabu (3/2/2021). Nilai ekspor minyak kelapa sawit mentah dan produk turunannya melalui Pelabuhan Dumai sepanjang tahun 2020 yaitu sebanyak 14,680 juta ton dengan nilai transaksi perdagangan sebesar 8,203 miliar dolar AS atau naik 14,5 persen (YoY) dibanding tahun 2019 sebesar 7,167 miliar dolar AS dengan nilai ekspor sebanyak 15 juta ton. | Kredit Foto: Antara/Aswaddy Hamid
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam dua dekade terakhir, isu deforestasi telah menjadi perhatian masyarakat dunia. Lantaran, deforestasi berdampak pada timbulnya berbagai masalah lingkungan seperti menjadi ancaman bagi kelestarian biodiversity alamiah hingga berkontribusi pada emisi gas rumah kaca global sehingga memicu pemanasan global dan perubahan iklim global.

"Namun kini, isu deforestasi bukan lagi menjadi isu lingkungan semata karena isu tersebut dijadikan basis kebijakan perdagangan yang banyak diimplementasikan negara maju kepada negara berkembang," seperti dilansir dari laman Palm Oil Indonesia.

Baca Juga: Flashback, Begini Awal Mula Sawit Indonesia Didiskriminasi Uni Eropa

Sebagai salah satu komoditas potensial, minyak kelapa sawit juga dikenakan kebijakan perdagangan terkait isu deforestasi oleh negara importir, terutama Uni Eropa. Kebijakan perdagangan tersebut di antaranya European Green Deal yang di dalamnya termasuk Renewable Energy Directives (RED), Indirect Land Use Change (ILUC), dan Forest and Ecosystem Risk Commodities (FERC).

Dalam kebijakan tersebut, minyak sawit dianggap sebagai driver utama deforestasi global dan harus bertanggung jawab terhadap "dosa" yang dilakukannya. Lantas, seperti apa faktanya?

Seperti dikutip dari laman Palm Oil Indonesia, studi European Commission tahun 2013-kajian yang dibuat oleh Uni Eropa-menampilkan fakta menarik bahwa subsektor peternakan (livestock production) justru merupakan driver utama deforestasi global dengan pangsa sebesar 24 persen pada periode tahun 1990-2008. Selain peternakan, driver deforestasi global lainnya adalah tanaman serelia dengan pangsa sebesar 8 persen dan kedelai berkontribusi sebesar 6 persen terhadap deforestasi dunia.

Sementara itu, kelapa sawit yang selalu dikambinghitamkan sebagai penyebab deforestasi dunia ternyata kontribusinya sangat kecil, yakni sekitar 2 persen. Hasil kajian tersebut juga terkonfirmasi dari data FAO terkait distribusi lahan pertanian global yang menunjukkan bahwa dari luas pertanian global mencapai 4,95 miliar hektare, sekitar 69 persennya atau 3,4 miliar hektare merupakan luas lahan peternakan.

Sementara itu, luas kebun sawit global tercatat 28 juta hektare atau hanya sekitar 0,56 persen dari lahan pertanian global. Bahkan, luas kebun sawit global tersebut masih lebih rendah dibandingkan luas kebun kedelai global yang mencapai 120 juta hektare (2,4 persen). Data dan fakta di atas menunjukkan bahwa kelapa sawit tidak termasuk komoditas driver atau penyebab deforestasi global.

"Uni Eropa melalui berbagai kebijakan perdagangannya menghambat impor minyak sawit dengan argumen deforestasi, tetapi membiarkan kran impor kedelai dari Amerika Serikat makin terbuka. Padahal, kedelai telah terbukti sebagai top-3 penyebab deforestasi global. Hal ini makin menunjukkan bahwa pengaitan minyak sawit dengan driver deforestasi global hanyalah bentuk persaingan bisnis yang tidak adil (unfairness) dan diskriminasi (crop apartheid)," seperti diungkap laman Palm Oil Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ellisa Agri Elfadina
Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: