Kisah Perusahaan Raksasa: Minyak-minyak Equinor Semburkan Pundi-pundi Cuan Miliaran Dolar AS
Equinor ASA adalah perusahaan energi multinasional milik Norwegia, yang memiliki kantor pusat di Stavanger. Sebagai salah satu perusahaan raksasa yang menempati daftar Global 500 di peringkat ke-169, korporasi ini lahir dari sejumlah merger.
Dalam catatan Fortune tahun 2020, Equinor sukses membukukan pendapatan total sebesar 64,35 miliar dolar AS. Pendapatan ini ternyata merosot sekitar 19,1 persen dari 2019 yang memperoleh 79,59 miliar dolar.
Baca Juga: Kisah Perusahaan Raksasa: ADM, Konglomerat Pengolah Pertanian yang Miliki 200 Lebih Pabrik di Global
Ketidaksehatan keuangan perusahaan juga terlihat dalam aspek lainnya. Laba Equinor sedang parah-parahnya turun di angka 75,5 persen di 2020. Dengan begitu, raksasa minyak Norwegia harus puas mendapat 1,84 miliar dolar di tahun itu. Berbanding terbalik dengan 2019 yang sukses mendapat 7,53 miliar dolar.
Korporasi masih memiliki harapan sebab asetnya naik menjadi 118,06 miliar dolar di tahun 2020, dari sebelumnya mendapat 112,50 miliar dolar. Satu lagi, Equinor mencatatkan nilai pasar (market value) di angka 48,04 miliar dolar.
Perusahaan merger asal Norwegia ini menarik untuk diulas. Warta Ekonomi pada Rabu (24/4/2021) akan menyajikan tulisan perjalanan perusahaan Equinor dalam artikel di bawah ini.
Perusahaan Equinor yang ada saat ini merupakan penggabungan dari tiga perusahaan pendahulu, yakni Statoil, Hydro, dan Saga Petroleum. Penggabungan atau merger terjadi di tahun 2007, berlangsung setelah penantian cukup panjang. Begini perjalanannya.
Statoil
Pemerintah Norwegia pada tanggal 14 Juli 1972 mendirikan sebuah perseroan terbatas bernama Den Norske Stats Oljeselskap AS (Norwegian State Oil Company). Perseroan itu dibentuk melalui akta bulat yang telah disahkan oleh parlemen Norwegia, Stortingets.
Motivasi awal pemerintah Norwegia adalah supaya negara ikut berpartisipasi dalam industri perminyakan dunia. Maka, muncullah perusahaan minyak ini yang kemudian disebut Statoil.
Pada 1973, Statoil mulai bekerja untuk memperoleh kehadiran di industri petrokimia. Hal ini menghasilkan pengembangan pabrik pengolahan di Rafnes dan, dalam kemitraan dengan Norsk Hydro, pabrik Mongstad pada 1980.
Pada 1981, perusahaan tersebut memperoleh, sebagai perusahaan Norwegia pertama, hak operator di landas kontinen Norwegia di lapangan Gullfaks. Tempo 1987-1988 menyaksikan skandal terbesar dalam sejarah perusahaan, skandal Mongstad yang membuat CEO Arve Johnsen yang hingga saat itu tak terbantahkan mundur.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Muhammad Syahrianto
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: