Awas, Media Independen dan Jurnalisnya Ditangkap-tangkapi Paksa Militer Myanmar
Media ''bawah tanah'' tak netral?
Tapi bukan hanya militer yang menekan media. Sebagian besar media lokal yang memberitakan secara sembunyi-sembunyi tidak bisa mengambil posisi netral atas situasi tersebut, yang berujung menyulut kemarahan para pengunjuk rasa.
Misalnya, alih-alih menggunakan nama yang dibuat sendiri oleh pemerintah militer, "Dewan Administrasi Negara," mereka menulis "Dewan Teroris Negara." Orang tidak "ditangkap" oleh pasukan keamanan, tetapi "diculik".
"Tidak mungkin lagi menulis laporan atau analisis tanpa membuat komitmen yang jelas terhadap revolusi atau militer," kata seorang jurnalis kepada DW. Masalahnya, kata dia, kini banyak jurnalis tidak lagi menulis apa yang terjadi, tapi apa yang ingin didengar orang.
Pada dasarnya, kata dia, hampir semua media lokal punya agenda, yakni bukan jurnalisme, tapi tentang aktivisme. "Saya telah memutuskan untuk berhenti menulis apa pun untuk saat ini, karena setiap pernyataan disalahartikan," katanya.
Akibat polarisasi ini, hanya para pendukung militer atau pendukung revolusi yang mendapat kesempatan untuk bersuara. Tetapi ada juga orang di Myanmar yang tidak menginginkan revolusi padahal mereka bukan pendukung militer. Mereka takut terjadi kehancuran total negara dan hidup dalam kekacauan bertahun-tahun.
Seorang pejabat universitas mengatakan kepada DW bahwa dia berharap situasinya akan segera stabil, dan agar bank dapat dibuka kembali untuk segera beroperasi. Bahkan jika stabilisasi itu berarti menghentikan protes terhadap militer.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: