Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

73 Guru Besar Surati Jokowi, Isinya...

73 Guru Besar Surati Jokowi, Isinya... Kredit Foto: Instagram Jokowi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebanyak 73 guru besar dari sejumlah universitas yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin (24/5/2021). Dalam suratnya, para guru besar meminta Presiden Jokowi agar mengawasi tindak tanduk Firli Bahuri cs dan mengaktifkan kembali 75 pegawai KPK yang dianggap tak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK).

Koalisi Guru Besar juga memandang Surat Keputusan (SK) yang diteken Firli Bahuri bisa dikategorikan pidana.

"Dalam pengamatan kami, ada banyak permasalahan yang perlu untuk dituntaskan," kata salah satu anggota koalisi, Guru Besar FH UGM Sigit Riyanto dalam siaran pers, Senin (24/5/2021).

Baca Juga: Pak Jokowi, Anak Buah AHY Bilang Rakyat Bosen dengan Janji Bapak Soal Ekonomi Bombastis

Dia menyebut, permasalahan itu mulai dari penanganan perkara yang tidak maksimal, serangkaian dugaan pelanggaran kode etik, sampai pada kekisruhan akibat kebijakan komisioner. Hal itu, tegas dia, mengakibatkan penurunan kepercayaan publik terhadap KPK yang cukup drastis sejak 2020.

Menurut Sigit, sejak awal, masyarakat sipil, organisasi keagamaan, maupun akademisi telah menganalisis keabsahan TWK ini. Ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil analisis tersebut.

Pertama, penyelenggaraan TWK tidak berdasarkan hukum dan berpotensi melanggar etika publik. Merujuk pada dua peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

"Tidak ditemukan kewajiban bagi pegawai KPK untuk mengikuti TWK. Dua regulasi juga diperkuat oleh putusan MK yang menegaskan bahwa peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK. Maka dari itu, pelaksanaan TWK berdasarkan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tidak dapat dibenarkan," kata dia.

Kedua, lanjut dia, diperoleh informasi bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada pegawai KPK saat mengikuti TWK terindikasi rasis (intoleran), melanggar hak asasi manusia, dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Hal ini menunjukkan kegagalan penyelenggara dalam memahami secara utuh konsep dan cara mengukur wawasan kebangsaan.

Selain itu, proses wawancara dilakukan secara tidak profesional dan cenderung tertutup. Isu ini menciptakan kecurigaan dan kritik tentang tujuan diadakannya TWK, dari berbagai kalangan yang peduli pada upaya pemberantasan korupsi.

Namun, kritik dari berbagai elemen masyarakat tampak diabaikan oleh pemegang kebijakan tertinggi di KPK. Sampai pada akhirnya tanggal 5 Mei 2021 Komisioner KPK menyebutkan ada 75 pegawai yang dikategorikan tak memenuhi syarat (TMS).

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, sebagian besar pegawai KPK yang disebutkan TMS merupakan penyelidik dan penyidik perkara dugaan tindak pidana korupsi. Bahkan, perkara yang sedang mereka tangani berkaitan langsung dengan hajat hidup masyarakat.

Mulai dari korupsi suap pengadaan bantuan sosial di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, pengadaan kartu tanda penduduk (KTP) berbasis elektronik, dan lain sebagainya. "Tentu konsekuensi logis dari permasalahan ini akan berkaitan dengan kelanjutan penanganan perkara tersebut yang kemungkinan besar menjadi terhambat," kata dia.

Dengan berbagai permasalahan TWK, khususnya pada dampak penanganan perkara, besar kemungkinan ada sejumlah pihak yang merancang dan memiliki keinginan untuk mengintervensi proses penindakan. Sebab, salah satu poin dari perintah Ketua KPK Firli Bahuri terhadap pegawai yang dikategorikan TMS adalah menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya.

"Jika itu benar, hal tersebut berpotensi melanggar hukum Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau obstruction of justice," kata dia.

Guru Besar FH UI Sulistyowati Irianto menambahkan, kekisruhan internal KPK mesti segera diakhiri. Polemik tak berujung semacam ini, kata dia, berpotensi memengaruhi citra Indonesia, khususnya dalam konteks Indeks Persepsi Korupsi (IPK).

Sebagaimana diketahui, pada akhir Januari lalu, Transparency International memublikasikan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: