Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 persen menjadi 12 persen. Tak hanya itu, pemerintah juga akan mengenakan PPN terhadap sembako hingga sekolah.
Kebijakan ini akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam draf revisi UU Nomor 6 yang dikutip CNNIndonesia.com, pengenaan pajak itu diatur dalam Pasal 4A.
Baca Juga: Daripada Bebankan Rakyat dengan PPN Sembako, Mending Bu Sri Naikkan Cukai Rokok
Dalam draf tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu, artinya barang akan dikenakan PPN.
Ada tiga opsi tarif untuk pengenaan PPN barang kebutuhan pokok ini. Pertama, diberlakukan tarif PPN umum yang diusulkan sebesar 12 persen. Kedua, dikenakan tarif rendah sesuai dengan skema multitarif yakni sebesar 5 persen, yang dilegalisasi melalui penerbitan Peraturan Pemerintah. Ketiga, menggunakan tarif PPN final sebesar 1 persen.
Rencana PPN ini menuai polemik di tengah masyarakat dan mengkhawatirkan banyak pihak. Namun, Kemenkeu menegaskan tidak akan ada penarikan PPN dalam waktu dekat.
Stafsus Menkeu Yustinus Prastowo menjelaskan kebijakan PPN tidak akan terjadi saat masa pandemi Covid-19. Untuk saaat ini, pemerintah sedang fokus untuk memulihkan perekonomian nasional akibat pandemi.
"Kita mau ekonomi benar-benar pulih, saat ini kita siapkan semuanya. Tidak benar kalau ada pajak sembako dalam waktu dekat. Jasa pendidikan, kesehatan, besok, atau lusa, bulan depan, atau tahun ini tidak dipajaki, tidak," ujar Prastowo dalam webinar Narasi Institute, Jumat (11/6/2021).
Dia menjelaskan revisi UU Kelima Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP soal pajak sembako dan jasa pendidikan hingga saat ini masih belum dibahas dengan DPR.
"RUU-nya masih di pimpinan DPR, bahkan belum diparipurnakan dan belum dibahas," tuturnya.
Kemudian, Prastowo juga menekankan bahwa rancangan tersebut bukan wacana yang tiba-tiba. "Ini bukan kebijakan yang tiba-tiba, tapi kajian yang sudah direncanakan bertahun-tahun tapi eksekusinya ditunda-tunda," tukasnya.
Dia mengatakan situasi ini merupakan kesempatan yang baik untuk memikirkan kebijakan apa yang diperlukan ketika pandemi berakhir. Oleh sebab itu, pemerintah berusaha memperbaiki sistem perpajakan yang sudah ada karena ada banyak pengecualian pada sistem tersebut.
"Misalnya kalau saya mengonsumsi telur omega, tapi orang lain beli telur di pasar, itu sama-sama tidak kena PPN padahal daya beli konsumen dan jenis harganya sangat berbeda. Itu yang menjadi problem," ungkap Stafsus Menkeu tersebut.
Hal itulah yang melandasi pemerintah mencanangkan wacana reformasi sistem perpajakan. Harapannya, kebijakan pajak yang akan diterapkan nantinya bisa lebih adil dan tepat sasaran.
Tuai Kritik Sana-Sini
Ekonom Achmad Nur Hidayat mengingatkan pengenaan PPN untuk sembako dan sekolah akan berkaitan langsung dengan laju inflasi tahun ini dan tahun depan.
"Meski pemberlakukan kenaikan tarif PPN tidak diberlakukan 2021, namun rencana kenaikan pajak tersebut dapat memicu inflasi 2021. Rencana kenaikan PPN terhadap sembako akan mendorong masyarakat membeli sembako di luar kebutuhan karena takut harganya naik ulah PPN 12 persen. Potensi kenaikan inflasi 2021-nya berkisar naik 1 sampai 2,5 persen sehingga inflasi 2021 bisa mencapai 2,18 persen sampai 4,68 persen," ujar Direktur Eksekutif Narasi Institute.
Selain menimbulkan inflasi yang memberatkan konsumen secara umum, menurut Achmad Nur Hidayat, kenaikan PPN terhadap sembako dari produksi pertanian juga akan menyebabkan petani kecil kehilangan kesejahteraan dan akhirnya makin miskin di tengah pandemi.
"Kenaikan pajak PPN 12 persen terhadap sembako juga menyebabkan petani kecil makin miskin karena makin sulit menjual produknya di saat konsumen makin mengerem belanja imbas kenaikan PPN tersebut," ujar Hidayat.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Nadia Fairuza pun menilai rencana PPN pada sektor pendidikan atau sekolah kontraproduktif dengan upaya memulihkan dampak pandemi pada sektor ini. Biaya pendidikan yang akan semakin tinggi dapat mengancam upaya Indonesia untuk memajukan sumber daya manusianya.
Di tengah-tengah persoalan akses maupun mutu pendidikan yang tidak merata, peningkatan drop out dan penurunan kemampuan belajar, pengenaan pajak PPN ini akan semakin mempersempit akses kepada pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin.
"Dampak pandemi pada sektor pendidikan seharusnya bisa menjadi pertimbangan sebelum pengenaan PPN ini benar-benar diberlakukan," jelas Nadia.
Banyak sekolah, terutama sekolah swasta berbiaya rendah, sudah sulit untuk bertahan di tengah pandemi yang berkepanjangan karena sekolah maupun gurunya sangat bergantung kepada pendapatan orang tua murid yang kini banyak terganggu dalam kondisi sulit seperti sekarang ini.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2021 memperlihatkan ada 19,10 juta penduduk usia kerja yang terdampak pandemi Covid-19. Sebanyak 1,62 juta penduduk di antaranya menganggur akibat Covid-19 dan sebanyak 1,11 juta orang tidak bekerja karena pandemi.
"Belum lagi mempertimbangkan dampak dari learning loss akibat pandemi pada peserta didik," tegas Nadia sembari mengimbuhkan, "RUU KUP perlu dikawal prosesnya agar tidak merugikan kepentingan masyarakat luas."
Reformasi Pajak Perlu Kepercayaan Publik
Ekonom senior Fadhil Hasan mengatakan yang sering dilupakan dalam revisi pajak akhir-akhir ini adalah kepercayaan publik.
"Revisi KUP apa pun itu bisa berjalan efektif manakala trust kepada pemerintah cukup kuat," ujar Fadhil Hasan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo