Fadhil Hasan berpendapat bahwa kenapa polemik PPN sembako, pendidikan, perluasan kewenangan penyidikan pajak semakin tinggi dan terkesan penolakan reformasi meluas karena terdapat distrust tinggi kepada berbagai kebijakan pemerintah.
"Sayangnya, yang terjadi saat ini adalah bahwa terdapat distrust yang cukup tinggi sehingga dikhawatirkan penerapan reformasi KUP tidak akan berjalan efektif. Distrust itu terjadi justru karena banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, sensitif, dan kontroversial. Misalnya saja terkait dengan pelemahan KPK, rencana impor beras, pembatalan haji, pemindahan ibu kota, anggaran alutsista, dan banyak lagi," ucap pendiri Narasi Institute tersebut.
Baca Juga: Muhammadiyah Menentang Keras Rencana Sektor Pendidikan Dikenai PPN
Fadhil menyarankan dalam membangun kepercayaan publik diperlukan narasi kebijakan yang rasional.
"Membangun kepercayaan publik dengan menghadirkan kebijakan publik yang rasional, dan dapat diterima karenanya menjadi necessary condition sekarang ini sebelum penerapan revisi KUP ini dijalankan," ujarnya.
Dia menilai revisi UU KUP harus ditempatkan pada konteks yang lebih luas yakni reformasi perpajakan yang juga menyangkut kelembagaan, transformasi ke arah digitalisasi perpajakan, dan sumber daya manusia pajak untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, efisien, dan sederhana, dan bersih.
"Jadi narasi yang harus bangun tidak sekadar terkait dengan peningkatan dan penambahan komoditas yang terkena pajak, peningkatan tingkat pajak, dan program pengampunan pajak. Narasi ini yang kurang dikomunikasikan kepada publik," ujar Fadhil.
Fadhil juga menyarankan Sri Mulyani bahwa faktor waktu juga menjadi pertimbangan penting. "Kala pandemi, adalah tidak bijak menarasikan kenaikan pajak dan pengampunan pajak tanpa menyampaikan kapan hal tersebut akan dilaksanakan. Karena itu, penting untuk disampaikan bahwa penerapan KUP tersebut dilakukan setelah ekonomi sepenuhnya pulih dan pertumbuhan kembali ke alurnya yang normal," ujar Fadhil dalam zoominari kebijakan publik, Jumat (11/6/ 2021).
Dia memandang pengenaan PPN sembako sebaiknya dihindarkan karena merugikan ekonomi dan masyarakat dibandingkan manfaatnya.
"Dalam hubungan dengan pengenaan PPN untuk bahan kebutuhan pokok yang selama ini menjadi non-BKP dan pendidikan hendaknya hal ini dihindarkan. Dampaknya akan lebih banyak merugikan ekonomi dan masyarakat dibandingkan manfaatnya. Pendidikan akan semakin mahal dan justru bertolak belakang dengan agenda peningkatan SDM, demikian juga menyangkut kebutuhan pokok."
Fadhil menyatakan yang perlu diperluas pajak adalah benda yang inelastis permintaannya seperti barang mewah.
"Yang perlu dipertimbangkan adalah kenaikan PPN untuk barang mewah yang bersifat inelastic (konsumsi masyarakat atas)," tutup Fadhil.
Reformasi Pajak Harus Komprehensif
Achmad Nur Hidayat menyarankan pemerintah mengajukan reformasi perpajakan yang komprehensif guna membantu penerimaan negara di kala pandemi.
"RUU KUP itu seharusnya memuat reformasi pajak yang komprehensif. Polemik membebankan pajak sembako, kesehatan, dan pendidikan termasuk, memburu orang super kaya dengan 35% tarif OP seharusnya dibingkai dalam kerangka perpajakan yang lebih berkeadilan," ujar Achmad Nur Hidayat.
Achmad Nur Hidayat menegaskan bahwa RUU KUP yang tidak didasarkan pada prinsip keadilan dan komunikasi publik yang masif maka reformasi pajak 2021 ini akan ditolak masyarakat.
"Ibu Sri Mulyani harus terbiasa untuk mengomunikasikan gagasan reformasi publiknya secara masif apalagi bila dokumen publiknya sudah jatuh ke tangan DPR. Ibu Menteri jangan merasa kikuk di depan publik soalnya ini menyangkut hajat hidup orang banyak," ujar Achmad Nur Hidayat yang disapa ANH.
Narasi rencana kenaikan PPN sembako bahkan 1% pun akan dinilai tidak adil di saat masyarakat mengalami resesi ekonomi, begitu juga perluasan penyidik pajak untuk menangkap tanpa melibatkan kepolisian dan kejaksaan akan mendapat penentangan keras dari publik," tambah ANH.
ANH menyarankan agar reformasi pajak 2021 dilakukan mengedepankan prinsip keprihatian ekonomi publik dan asas keadilan.
"Salah satunya reformasi perpajakan komprehensif berkeadilan adalah melalui kenaikan PPh pribadi orang kaya 35% dibarengi dengan penurunan PPh Badan/perusahaan dari 25 persen menjadi 10-15 persen."
Baca Juga: Dikritik Soal PPN Sembako dan Tax Amnesty Jilid II, Begini Penjelasan Kemenkeu
"Jika PPh Badan diturunkan maka underground economy akan muncul karena tidak ada lagi insentif untuk berusaha sembunyi-sembunyi. Di waktu bersamaan orang super kaya tidak lagi menumpuk harta karena takut dipajaki tarif PPh Pribadi tinggi sehingga mereka lebih banyak berinvestasi, mendirikan perusahaan, merekrut tenaga kerja baru sehingga ekonomi tumbuh," saran ANH.
ANH memandang dengan penurunan PPh Badan yang signifikan akan menaikkan jumlah wajib pajak baru sehingga yang terjadi adalah ekstensifikasi pajak.
"Selama ini reformasi pajak hanya bersifat intensifikasi terus-menerus, memburu wajib pajak yang itu-itu lagi seperti berburu di kebun binatang," tambah ANH.
ANH mengakui dengan kebijakan penurunan PPh badan akan terjadi shortfall penerimaan dari pajak beberapa tahun, namun hal tersebut wajar karena negara sedang resesi imbas pandemi. Begitu ekonomi pulih, akan diikuti dengan meningkatnya wajib pajak baru. Penurunan PPh Badan tepat diberlakukan di saat ekonomi masih negatif saat ini.
"Penurunan PPh Badan dalam simulasi akan menyebabkan shortfall sekitar 2-3 tahun terlebih dahulu setelah itu akan naik stabil seiring dengan wajib pajak badan yang bertambah," ujar ANH.
ANH berpendapat reformasi pajak yang komprehensif artinya terjadi pendekatan baru dari intensifikasi kepada ekstensifikasi pajak sehingga diperlukan langkah revolusioner yang berani.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo