Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kebinekaan, Demokrasi, dan Keterbukaan Nihil di Israel?

Kebinekaan, Demokrasi, dan Keterbukaan Nihil di Israel? Kredit Foto: Instagram/State of Israel
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam pergaulan dunia internasional, negara yang ideal adalah yang menjunjung kebinekaan, demokrasi, dan keterbukaan. Tiga sifat itu nyaris mustahil ditemukan di Israel. 

Sejak 2018 lalu, Israel memberlakukan Undang- Undang Negara Bangsa Orang Yahudi. UU ini tidak hanya menegaskan klaim bahwa Israel sebagai tanah air historis orang Yahudi. Beleid yang sama pun mengeklaim Yerusalem yang utuh sebagai ibu kotanya.

Baca Juga: Karena Hal Ini, Hamas Berani Bilang Israel Gak Punya Niat Baik buat Setop Krisis Gaza

Aturan ini dengan nyata menafikan fakta bahwa di wilayah Israel (baca: wilayah hasil penjajahan atas Palestina) pun tidak hanya terdapat bangsa Yahudi, melainkan juga Arab.

UU ini dengan sekonyong-konyong menegaskan bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi. Bahasa Arab yang dipakai sekira dua juta penduduk Israel dikeluarkan dari daftar bahasa resmi.

Kebijakan ini menjadi dasar penghilangan bahasa dan aksara Arab pada plang-plang atau penunjuk jalan di berbagai fasilitas umum setempat. Golnya UU Negara Bangsa Orang Yahudi hanya mungkin terjadi dengan dominasi partai penguasa saat itu bahkan hingga kiniyakni Partai Likud. Partai yang diketuai Benjamin Netanyahu ini, ketika beleid tersebut disahkan, menguasai mayoritas.

Sebanyak 66 dari total 120 kursi parlemen Israel (Knesset) dimiliki koalisi Likud. Adapun barisan oposisi diisi partai-partai berhaluan kiri. Termasuk di dalamnya adalah partai-partai yang didirikan orang Arab di Israel.

Rapat paripurna Knesset yang mengesahkan UU tersebut dihadiri Netanyahu. Dalam kesempatan itu, para politikus oposisi melakukan protes keras. Beberapa di antaranya berdiri dan merobek-robek naskah RUU tersebut.

UU Negara Bangsa Orang Yahudi menjadi tonggak yang sangat menegaskan identitas Israel sebagai negara satu ras saja, yakni Yahudi. Keberagaman disingkirkan. Pada praktiknya, pemerintahan Netanyahu sedang menerapkan politik apartheid yang mewujudkan pendudukan segregasi rasial. Tak ubahnya Afrika Selatan sebelum era 1990-an atau bahkan lebih buruk lagi.

Menurut Roger Garaudy dalam Mitos dan Politik Israel (2000), sejak awal Zionisme bersikap antipati terhadap asimilasi. Mereka menganggap, kaum Yahudi mesti menjaga kemurnian darah agar tidak bercampur dengan non-Yahudi (gentile). 

Dalam hal ini, tulis Garaudy, mereka bergabung dalam visi dasar seluruh paham rasisme, termasuk Hitler. Alhasil, tidak mengherankan bila akhirnya UU demikian disahkan dan diberlakukan di Israel, wujud negara dari gagasan Zionisme politik.

Kini, perlahan namun pasti, pendudukan Israel kian meluas, mencaplok satu per satu wilayah Palestina pasca-Perang 1967. Wujud pencaplokan tanah itu terjadi terutama di Tepi Barat. Sekitar 500 ribu orang Israel (baca: Yahudi) dengan entengnya merebut rumahrumah warga Palestina di sana. Tidak hanya itu, otoritas Israel juga menetapkan jalan-jalan mana yang hanya bisa dilalui orang Israel.

Alhasil, penduduk Palestina di negeri mereka sendiri justru dipaksa melewati jalan pinggiran. Itu pun masih harus melalui pos-pos pengecekan yang dijaga polisi dan tentara Israel. Belum lagi keadaan nestapa warga Jalur Gaza ataupun jutaan orang Palestina yang hidup di pengungsian.

Maka, sangat aneh bin ajaib bila masih ada pihak-pihak hari ini yang membela Israel. Untuk apa berpihak pada penjajah? Mengapa menutup mata terhadap nasib bangsa terjajah? Sejarah akan menghakimi, di mana keberpihakan kita pada masamasa sekarang ini.  

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: