Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Indonesia Disebut Penjajah, Pemerhati Isu Strategis Buka Suara: Itu Memutarbalikan Sejarah

Indonesia Disebut Penjajah, Pemerhati Isu Strategis Buka Suara: Itu Memutarbalikan Sejarah Kredit Foto: Istimewa

Bahkan, menurut Imron, saat ini mungkin dirinya satu-satunya orang non-Jawa (Batak), yang menerima gelar tertinggi dari Kraton Yogyakarta, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Duta Wirabangsa. 

“Memang “prejudice” selalu menyertai ketika dua budaya berinteraksi, yang kemudian menguap tidak meninggalkan bekas ketika sifat-sifat kebaikan universal termanifestasikan,” kata dia. 

Pemutarbalikkan sejarah

Yang lebih disayangkan Imron, sebagai seorang tokoh agama dan intelektual bergelar doktor, Socrates S. Yoman, seharusnya tahu mana informasi di media social yang berbasis fakta sejarah dan hukum internasional, dan mana yang hanya sebatas hoaks dalam status Tanah Papua dalam kerangka NKRI.

“Sampai saat ini, tidak  ada pernyataan Kerajaan Belanda yang membantah bahwa wilayah jajahannya di Nusantara itu terbentang dari Sabang hingga Merauke. Ketika VOC bubar pada Desember 1799, pemerintah Belanda mengambil-alih penjajahan di kepulauan nusantara,” kata Imron. 

Imron melanjutkan, ketika Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, 17 Agustus 1945, sesuai prinsip hukum internasional Uti Possidetis Juris, otomatis menetapkan secara yuridis batas wilayah Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke. Prinsip hukum intenasional Uti Possidetis Juris itu menetapkan bahwa: “batas wilayah dari suatu negara yang baru merdeka adalah sama dengan batas wilayah ketika wilayah tersebut dijajah”.

Belanda, seperti kebiasaan buruk negara-negara kolonial lain, masih “memainkan” kartu ras Melanesia, dengan bertahan di Tanah Papua. Selain ingin mempertahankan statusnya sebagai negara kolonial agar berdiri sejajar dengan Inggris Raya, Perancis, Belgia, Spanyol, dan Portugal, ada beberapa tujuan utama kolonial Belanda bertahan di Papua. 

Pertama, untuk menampung para warganegara dan kolaborator Belanda yang tidak ingin kembali ke negaranya. Kedua, menciptakan wilayah lindung (sanctuary) bagi warganegara Belanda dan para kolaborator alias pengikutnya. Ketiga  mencegah migrasi atau exodus besar-besaran warganegara Belanda, keluarga, dan para kolaboratornya ke Belanda—salah satu negara terkecil di Eropa. 

“Pembangkangan Belanda tersebut dijawab Indonesia dengan menggelar perang dan melancarkan upaya diplomasi untuk membebaskan Tanah Papua, yang dimulai pada awal tahun 1960-an,” kata Imron.

Karena itu, kata Imron, sebagai tokoh intelektual bergelar doktor, tidak sepantasnya Socrates justru memutarbalikkan sejarah dengan pura-pura tak tahu kronologi sejarah kemerdekaan Indonesia dan hubungannya dengan Tanah Papua.   

“Dan sejarah menegaskan, Belanda bersepakat dengan Indonesia untuk menyelesaikan pertikaian melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Tanah Papua di bawah supervisi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 1969. Hasilnya disahkan Sidang Mejelis Umum (SMU) PBB, melalui Resolusi No.: 2504 (XXIV)/1969,” kata Imron. 

Sejak itulah Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan kolonialis Belanda keluar dari wilayah tersebut. 

Satu hal yang harus dicatat dan diingat, terutama oleh kalangan sejenis Socrates, kata Imron, hingga kini Belanda tidak pernah lagi mempermasalahkan status Papua sebagai bagian integral wilayah kedaulatan Indonesia. Belanda juga tak pernah mengeluarkan pernyataan bahwa pada tanggal dan tahun tertentu telah mendeklarasikan kemerdekaan Tanah Papua, seperti yang sering didengung-dengungkan para pendukung separatisme Papua. 

Imron juga menegaskan, hal yang sangat halusinatif jika para pendukung separatism Papua itu berpandangan bahwa para pemimpin negara-negara di dunia yang mendukung Resolusi SMU-PBB No.: 2504 (XXIV)/1969 itu tak mengerti sejarah dan asal dukung atas resolusi tersebut.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: