Waktu selama 2 tahun pandemi Covid-19 ini ternyata belum cukup bagi Pemerintah Kota Tangerang untuk membebaskan warga dari penderitaan akibat terdampak air limbah TPA Rawakucing. Sudah berbulan-bulan, warga sekitar TPA mengeluhkan tumpahan air limbah TPA yang masuk ke rumah mereka atau menggenangi sawah.
Keluhan ini ditindaklanjuti oleh Pemkot Tangerang dengan mengupayakan pembebasan lahan, meskipun tidak dapat dilakukan secara keseluruhan di tahun yang sama akibat alokasi anggaran. Agar tuntas, seharusnya Pemkot Tangerang wajib membebaskan 16 bidang lahan di permukiman tersebut, namun hanya enam bidang lahan mengingat ketersediaan dana sebesar Rp 5 Miliar untuk pembebasan tanah, dan sisanya akan diselesaikan bertahap.
Selain pembebasan lahan, nantinya, warga juga akan mendapatkan tambahan ganti rugi untuk bangunan namun jumlahnya tentu tidak seberapa mengingat kualitas bangunan warga sudah terlanjur rusak akibat limpahan limbah padat dan cair dari TPA Rawakucing, dan banyak juga bangunan semi-permanen.
Edi, selaku perwakilan sekaligus pengurus RT 05, Edi, kepada wartawan Selasa (31/8/2021) menjelaskan bahwa warga bukan tak ingin pindah, namun terjepit situasi ekonomi yang mengharuskan mereka tinggal di area TPA Rawakucing. Tempat tinggal baru tidak ada, dan dana ganti rugi juga tidak jelas.
Baru-baru ini, Pemerintah Kota Tangerang sudah menetapkan harga taksiran untuk 6 bidang tanah di RT 05/ RW 04 Kelurahan Kedaung Wetan, Neglasari yang bersentuhan langsung dengan area penampungan sampah.
Harga ganti rugi untuk pembebasan lahan warga terdampak TPA Rawakucing telah diumumkan setelah dilakukan pengukuran oleh tim penilai aset. Hasilnya bervariasi dari mulai Rp 1,2 - 1,8 juta per menter persegi.
Pada 26 Agustus 2021 yang lalu, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) untuk Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Tangerang Herry Tafiyudien menyatakan bahwa ganti rugi disepakati berupa uang, dan telah dilakukan musyawarah kepada para pemilik lahan.
Warga memiliki waktu 14 hari untuk memutuskan menerima atau bisa melakukan penolakan melalui mekanisme pengadilan. Bagi yang setuju, dan menerima nilai yang ditawarkan akan dilakukan proses verifikasi data dan dokumen.
Masalah lingkungan ini timbul akibat terus tertundanya pelaksanaan Proyek PSEL Kota Tangerang yang diharapkan mampu untuk mengendalikan dampak lingkungan dari sampah masyarakat Kota Tangerang.
Melalui upaya revitalisasi TPA dan pemusnahan sampah dengan teknologi PSEL, proyek investasi ini diharapkan dapat mencegah timbulnya kerusakan lingkungan yang lebih parah. Sayangnya, Perjanjian Kerjasama pelaksanaannya sampai hari ini belum juga disepakati antara Pemerintah Kota Tangerang dengan pemenang lelangnya, Konsorsium Oligo.
Dampaknya, upaya perluasan TPA Rawa Kucing seluas 5,2 hektar yang telah dilakukan oleh Kementrian PUPR di tahun 2019 untuk mendukung PSEL dengan anggaran Rp 82,7milyar dengan menjadi sia-sia.
Kini, seluruhnya telah tertimbun sampah dan tidak dapat digunakan lagi. Konsekuensinya, di tahun 2021 ini, Pemerintah Kota Tangerang sudah kembali dihadapkan pada krisis kapasitas TPA, sementara pelaksanaan PSEL masih jauh dari realisasinya.
Saat dihubungi, Konsorsium Oligo menjelaskan bahwa konstruksi PSEL membutuhkan waktu paling tidak 3 tahun untuk persiapan dan pembangunan setelah Kontrak Kerjasama dan Perjanjian Jual Beli Listrik ditandatangani.
Terkait penundaan implementasi, Oligo menyampaikan bahwa Pemerintah Kota Tangerang ingin bersikap hati-hati dalam menyikapi investasi tersebut dengan mempertimbangkan masukkan dari pihak-pihak yang berwenang dari lembaga Pemerintah.
Namun, saat disinggung mengenai dampak yang dirasakan oleh warga, Konsorsium Oligo tidak dapat berbuat banyak karena Perjanjian Kerjasama belum ditandatangani, sehingga dampak yang timbul merupakan wewenang penuh Pemerintah Kota.
Deputi Kemenko Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo menilai bahwa pemerintah dari 12 kota yang tercantum dalam Perpres masih banyak yang belum kerja cepat mengatasi masalah sampah. Dari catatan pemerintah pusat, beberapa kota, seperti Kota Semarang, Kota Bekasi, dan Kota Makassar masih dalam tahap awal, seperti persiapan proses tender.
Penundaan implementasi PSEL Kota Tangerang yang telah berdampak nyata pada beban tambahan terhadap APBD Kota Tangerang ini, juga menjadi sorotan Pemerintah Pusat.
“Kota-kota di Indonesia harus konsisten, tidak bisa merubah aturan yang sudah diputuskan secara sepihak, leadership kepala daerah diuji untuk memutuskan kelanjutan proyek. Pesannya, pahami betul skema terbaik dari kerja sama dengan swasta agar hasilnya cepat dan efektif bagi masyarakat,” tegas Basilio.
Sudah terbukti bahwa penundaan realisasi proyek seperti ini bukan hanya mengganggu iklim investasi dan terciptanya kesempatan kerja. Alih-alih mendapatkan manfaat, keragu-raguan para Kepala Daerah dalam menyelesaikan masalah sampahnya, namun justru memberikan dampak yang sangat negatif bagi kualitas hidup masyarakat dan terbukti justru merugikan negara. Sampah akan terus timbul, dan yang tidak tertangani akan menjadi beban di kemudian hari.
Basilio kembali menekankan, melalui Perpres 35 Tahun 2018, Presiden Jokowi sejatinya tengah mendorong upaya menyelesaikan kedaruratan pengelolaan sampah dan mencegah permasalahan seperti yang dihadapi oleh Pemkot Tangerang. Karena itu, pemerintah daerah dan mitra-mitra kerja seharusnya mengikuti arahan Presiden untuk mempercepat penuntasan kedaruratan sampah di kota-kota besar dimana lahan sudah minim dan mahal.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: