Hendra juga meminta pemerintah untuk mengkaji korelasi antara pajak karbon dengan perdagangan karbon. Menurutnya, pajak karbon hanyalah salah satu dari instrumen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Bahkan, belum banyak negara yang menerapkan pajak karbon. Di Asia Tenggara sendiri, baru Singapura yang menerapkan.
"Bahkan China, negara penghasil batu bara terbesar 4 miliar ton satu tahun, belum ada pajak karbonnya. Di Australia, dibatalkan. Jadi, perlu dipelajari dulu secara matang. Ini kan mendadak baru bulan Juli lalu. Tak usah terburu-buru," ungkapnya.
Baca Juga: Fokus Pemanfaatan EBT, Jerman Mulai Hentikan PLTU Batu Bara
Dia pun mempertanyakan pemanfaatan dana dari pajak karbon ini bakal digunakan untuk apa. Apakah hanya untuk penerimaan negara atau untuk memitigasi perubahan iklim. "Ini kan belum jelas," singkatnya.
APBI sendiri mempunyai komitmen yang sama dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mengingat Indonesia masuk ke dalam Perjanjian Iklim Paris. Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim.
"Kami juga kerja sama dengan Apindo untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan program-program karena Indonesia masuk dalam Perjanjian Paris," bebernya.
Bertahap & Sederhana
Tenaga Ahli Tax Centre Universitas Indonesia (UI) Titi Muswati meminta pemerintah untuk memikirkan cara agar tidak terjadi pemungutan pajak ganda saat pajak karbon nantinya diterapkan.
Sebelumnya, pemerintah telah memiliki pajak yang terkait dengan penurunan emisi karbon seperti Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor yang dipungut oleh pemerintah pusat.
Sementara di tingkat provinsi, pemerintah daerah menarik Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan pajak air permukaan.
"Perlu dipetakan agar tidak ada over tax burden. Apakah aturan pajak terebut nanti akan dilebur atau disilangkan," ujar Titi di kesempatan yang sama.
Ia juga meminta pemerintah untuk membuat insentif pajak karbon bagi pelaku industri yang berhasil menurunkan emisi karbon. Karenanya, perlu dipetakan terlebih dahulu insentif yang dapat diberikan. Menurutnya, penerapan pajak karbon juga harus dilakukan secara bertahap. Saran lainnya ialah dalam waktu dekat pemerintah perlu mengenakan cukai atas komoditas yang menimbulkan emisi karbon melalui peraturan pemerintah terlebih dahulu.
"Dibandingkan undang-undang, pembuatan PP membutuhkan waktu relatif singkat," katanya.
Sementara dalam jangka panjang, pemerintah bisa melanjutkan pembuatan desain pajak karbon yang lebih komprehensif.
"Pembuatan pajak karbon sebaiknya dipisahkan dari RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan). UU berkaitan dengan pajak karbon yang lebih teknis pelu dibuat secara transparan, komprehensif, dan inklusi berdasarkan kajian ilmiah," tutupnya.
Sementara itu, Direktur Lingkungan Hidup Kementerian PPN/Bappenas Medrilzam mengatakan pajak karbon harus dilakukan secara sederhana agar tidak menimbulkan biaya administrasi yang membebani pelaku usaha maupun pemerintah.
"Desain apapun bentuknya nanti harus sederhana dan tidak meningkatkan beban administrasi bagi pemerintah maupun dunia usaha," ucapnya.
Pajak karbon, katanya, juga perlu dikenalkan secara hati-hati dan bertahap kepada masyarakat sebagaimana dilakukan oleh beberapa negara. Dia mencontohkan pemerintah Australia dan Kanada yang memerlukan waktu enam tahun untuk mempersiapkan pengenaan pajak karbon, sedangkan Kolombia butuh waktu 13 tahun.
"Harus dikomunikasikan terus, termasuk kejelasan desainnya. Yang paling penting, pemanfaatan pendapatan dari pajak karbon digunakan untuk apa," tanya dia.
Ia menyarankan pemerintah memanfaatkan pemasukan dari pajak karbon untuk berbagai program pembangunan rendah karbon secara transparan dan akuntabel.
Bisa Contek Inggris
Head of UK Climate Change Unit Philips Douglas bilang Indonesia bisa belajar dari Inggris soal pengenaan pajak karbon ini. Ia bercerita pajak karbon dimulai Pemerintah Inggris sejak 20 tahun lalu dengan tidak mudah. Ada berbagai tantangan yang dihadapi, utamanya sektor industri yang pada 1990-an sedang maju-majunya.
"Saat itu, ada risiko lapangan pekerjaan demi kredensial energi hijau. Pemerintah Inggris tidak ingin kemiskinan meningkat karena pajak karbon. Dari sisi hulu, memang di 1990-an fokus pemerintah dalam hal ini, PLTU. Akhirnya pada 2013 ada tarif khusus yang diberlakukan yaitu carbon price support," kisahnya.
Baca Juga: Demi Jaga Daya Saing Indonesia, Pemerintah Wajib Masifkan Komunikasi Penerapan Pajak Karbon
Philips sampaikan, kunci penting dari penerapan pajak karbon adalah data-data yang akurat mengenai sektor mana saja yang menghasilkan karbon selama ini. Tanpa adanya data yang akurat, hasil penerapan pajak karbon tidak bakal maksimal.
Selain berdampak pada kemiskinan, pengenaan pajak karbon yang tidak berdasarkan data-data akurat justru akan membuat harga karbon jatuh. Pasokan berlebih, sementara pasarnya kurang. Hal itu juga terjadi di Inggris pada awal-awal penerapan pajak karbon.
Namun, jika pajak karbon ini diterapkan secara proporsional dengan mempertimbangkan data-data mengenai emisi dari sektor-sektor yang ditargetkan, akan menjadi kekuatan besar bagi Indonesia dan negara lain untuk menangani perubahan iklim. Selain itu, pajak karbon dan kredit karbon juga menjadi sumber pendapatan bagi Indonesia.
"Pajak ini bisa jadi superpower dalam perubahan iklim, jadi sumber pendapatan juga bagi Indonesia, sesuai standar pemerintah Indonesia. Indonesia perlu memilih opsi terbaik," sarannya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Rosmayanti
Editor: Cahyo Prayogo
Tag Terkait: