Pelanggaran Kedaulatan oleh China di Natuna, Mulyanto Sentil Keras Prabowo-Luhut
Pemerintah Indonesia harusnya bersikap secara tegas terhadap pelanggaran kedaulatan oleh Kapal China yang masuk ke perairan Natuna. Pemerintah jangan diam karena hal tersebut akan membuat wibawa negara tidak dipandang oleh negara lain.
Demikian tanggapan anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto terhadap insiden masuknya kapal China ke perairan Natuna beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Kapal Asing Kembali Masuk Perairan Indonesia, Wakil Ketua MPR: Perkuat Dukungan bagi Bakamla
Mulyanto mendesak Pemerintah khususnya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan tidak diam menghadapi kasus pelanggaran kedaulatan oleh China.
Menurutnya, peristiwa itu adalah pelanggaran serius yang harus segera disikapi. Sebab, selain melanggar kedaulan negara, masuknya kapal-kapal China itu sudah mengganggu kegiatan penambangan migas di sana.
"Ini bahkan sudah bukan provokasi lagi, melainkan melanggar kedaulatan negara dan mengganggu kepentingan nasional (national interest). Jadi, Pemerintah melalui Menteri Pertahanan dan Menko Marves harus bersikap," tegas Mulyanto dalam keterangan tertulis kepada Warta Ekonomi, Rabu (15/9/2021).
Mulyanto mempertanyakan peran Menhan Prabowo dan Menko Marves Luhut selama ini terhadap pelanggaran yang terjadi. Sebagai Menhan, harusnya Prabowo bersuara atas pelanggaran tersebut. Jangan malah memuji kehebatan militer negeri tirai bambu.
Begitu pula Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan, yang dikenal dekat dengan Pemerintah China, harusnya segera membicarakan masalah ini secara resmi. Bukan malah membiarkan sambil memberikan berbagai kemudahan datangnya ribuan tenaga kerja asing dari China.
"Miris kita kalau Menhan dan Menko Marves diam saja. Sebab, mereka berdua yang berwenang menentukan sikap resmi atas pelanggaran ini," tegas Mulyanto.
Mulyanto menambahkan, bagi bangsa Indonesia posisi perairan Natuna sangat strategis. Di sana sedang dilakukan eksplorasi dan eksploitasi migas dalam rangka mengejar target 1 juta barel minyak per hari (bph) di tahun 2030. Jadi, Pemerintah harus bisa memberi jaminan keamanan terhadap proses eksplorasi dan eksploitasi itu.
"Kalau tidak, target 1 juta bph hanya angan-angan belaka. Jadi sudah sepantasnya Pemerintah bertindak tegas mengusir kapal-kapal asing dari perairan kita. Apalagi ini sudah sampai menggangu upaya penambangan migas kita. Kita tidak boleh diam," lanjut Mulyanto.
Untuk diketahui, Badan Keamanan Laut (Bakamla) menyatakan kapal-kapal China di perairan Natuna Utara dekat Laut China Selatan kerap mengganggu aktivitas pertambangan kapal-kapal Indonesia. Bahkan, ratusan hingga ribuan kapal China juga memasuki perairan Indonesia tanpa terdeteksi radar.
Kapal coast guard China dikabarkan mengganggu atau membayang-bayangi kerja daripada rig noble yang berbendera Indonesia di bawah Kementerian ESDM.
"Pemerintah harus mendukung kerja pengawasan Bakamla ini. Jangan sampai keterbatasan kemampuan operasional yang ada membuat kita membiarkan berbagai gangguan dari kapal-kapal asing terhadap kedaulatan negara yang bahkan mengancam kepentingan nasional kita," kata Mulyanto.
Blok Tuna merupakan wilayah Kerja migas di lepas pantai Indonesia. Blok ini terletak di Laut Natuna di dekat perbatasan Vietnam dengan kedalaman air sekitar 110 meter. Secara signifikan, pengeboran ini didanai oleh Zarubezhneft yang didukung Rusia.
Pengeboran sumur eksplorasi Singa Laut-2 di blok Tuna dilaksanakan oleh Premier Oil Tuna B.V. Tahun 2020 lalu, perusahaan ini telah mendapatkan partner baru yakni Zarubezhneft.
Zarubezhneft adalah perusahaan migas milik Pemerintah Rusia yang dilaporkan mengakuisisi 50% hak partisipasinya melalui anak usahanya, ZN Asia Ltd. Akuisisi ini membuat Premier Oil berganti menjadi Harbour Energy.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum