AUKUS Getarkan Kawasan, Hati-hati! Pembunuh Senyap China Mengintai di LCS
Australia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS), sepakat untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir untuk menangkal pertumbuhan kekuatan dan kehadiran China di kawasan Laut China Selatan.
Pakta Pertahanan tiga negara yang disebut Aukus telah menimbulkan kekhawatiran negara-negara di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Indonesia, karena akan memicu bahaya perang persenjataan nuklir di kawasan.
Baca Juga: Menteri Pertahanan Malaysia Kunjungi China Minta Kejelasan Soal AUKUS
Kerja sama ini akan memungkinkan Australia untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir untuk pertama kalinya. Kesepakatan ini juga mencakup teknologi kecerdasan buatan, teknologi kuantum, dan siber.
Australia mengklaim kapal selamnya tidak akan dipersenjatai dengan hulu ledak nuklir, tapi hanya ditenagai dengan reaktor nuklir. Meski begitu, pengembangan kapal selam bermuatan rudal ini telah menimbulkan kekhawatiran proliferasi dan perlombaan senjata.
Saat ini hanya ada enam negara di dunia yang punya kapal selam bertenaga nuklir yakni, AS, Rusia, China, Inggris, Prancis, dan India. Kapal-kapal itu memiliki kemampuan penggentar teramat kuat walau tanpa senjata nuklir.
Kapal selam bertenaga nuklir bahkan memiliki julukan pembunuh senyap. Senjata perang ini melaju jauh lebih senyap ketimbang kapal selam konvensional serta lebih sulit dideteksi.
Keunggulan Kapal Selam Bertenaga Nuklir
Keunggulan terbesar dari kapal selam bertenaga nuklir, dibanding kapal selam bertenaga diesel adalah mereka dapat menjelajah lebih dalam dan tetap tersembunyi lebih lama. Kapal selam bertenaga konvensional tidak memiliki jangkauan yang sama tanpa membuat mereka terdeteksi saat datang ke permukaan.
Kapal selam bertenaga nuklir dapat membawa bahan bakar yang cukup untuk beroperasi hingga 30 tahun, dan hanya perlu kembali ke pelabuhan untuk pemeliharaan dan persediaan. Kapal selam bertenaga nuklir adalah “mesin paling kompleks yang dibuat manusia, bahkan lebih dari pesawat ulang-alik”, menurut seorang pakar pertahanan, seperti dilansir dari Financial Times, Selasa 28 September 2021.
“Anda memiliki reaktor nuklir di belakang, bahan peledak tinggi di depan dan di tengah, sebuah hotel, tempat orang tinggal, dan semuanya itu berada di dalam air selama berbulan-bulan pada suatu waktu.”
Belum jelas jenis desain apa yang akan dipilih Canberra. Namun, kemungkinan akan didasarkan pada kapal selam Astute milik Inggris, yang dibangun oleh BAE Systems, atau setara kelas Virginia milik angkatan laut AS, yang dibangun oleh General Dynamics Electric Boat and Newport News Shipbuilding.
Salah satu pertanyaan kuncinya adalah seberapa banyak teknologi senyam dan sonar dari armada kapal selam yang akan diberikan Inggris dan Amerika kepada Australia.
Kemampuan senjata
Australia juga akan meningkatkan kemampuan senjata kapal selamnya secara signifikan di bawah perjanjian tripartit Aukus.
Kepala Pusat Center for a New American Security, Richard Fontaine, mengatakan Australia akan memasang rudal konvensional di kapal selam, yang memiliki muatan lebih besar daripada senjata yang ada di kapal Prancis. Rudal Tomahawk akan dapat ditembakan dari kapal atau kapal selam, yang akan menambah kemampuan persenjataan Australia.
“Tomahawks mengubah kapal angkatan laut permukaan menjadi aset strategis yang dapat menargetkan fasilitas militer di darat dari jarak ribuan mil. Muatan baru ini akan secara signifikan meningkatkan kekuatan serangan konvensional angkatan laut Australia,” kata Pakar Pertahanan di American Enterprise Institute, Eric Sayers.
Tomahawk akan memberi Australia lebih banyak kemampuan untuk mencapai target di China dalam konflik apa pun. Kemampuan ini sangat penting karena AS dan sekutunya memiliki lebih sedikit aset militer di wilayah lepas pantai China.
“Tomahawk memungkinkan untuk serangan jarak jauh terhadap target darat, seperti menjatuhkan sistem pertahanan rudal dan udara terintegrasi atau hanggar pesawat,” kata Sayers.
Kapal selam tenaga nuklir Australia ini diharapkan dibangun di Adelaide pada 2040.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto