Pengamat komunikasi politik dan militer dari Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting menjelaskan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan benteng terakhir pengawal ideologi Pancasila. TNI menjadi salah satu profesi di Indonesia yang wajib memegang teguh ideologi Pancasila, bukan ideologi lainnya di luar Pancasila.
"Jadi, TNI sudah belajar banyak dari pengkhianatan ideologi lain, termasuk penghianatan PKI (Partai Komunis Indonesia) pada tahun 1948 dan 1965 sehingga TNI berusaha keras untuk tidak lagi disusupi ideologi lain, termasuk ideologi komunis," kata kandidat doktor ilmu politik Unas tersebut di Jakarta, Rabu (29/9).
Baca Juga: Gatot Nurmantyo Koar-koar Isu PKI, Halah Cuma Cari Panggung Politik!
Dia mengemukakan hal tersebut terkait pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo yang mengindikasikan terjadinya penyusupan di tubuh TNI pada sebuah webinar bertema 'TNI vs PKI' di Jakarta pada Minggu (26/9) malam WIB. Gatot merespons soal hilangnya tiga patung penumpang PKI di Museum Darma Bakti Kostrad, Gambir, Jakarta Pusat. Patung itu adalah Jenderal AH Nasution, Mayjen Soeharto, dan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.
"Jangankan komunis, ketika partai politik dan kelompok lainnya ragu-ragu menerima atau menolak ide Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), (TNI) Angkatan Darat dengan tegas menolak Nasakom (yang dicetuskan Sukarno) karena bertentangan dengan Pancasila. Itu pula yang dimaksud politik TNI adalah politik negara," ungkap Ginting.
Pimpinan TNI tahun 1962-1965, lanjut Ginting, terutama Menteri Koordinator (Menko) Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) Jenderal TNI AH Nasution, serta Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani dan kawan-kawan (dkk.) menolak tegas nasakomisasi, ideologi komunis serta rencana pembentukan Angkatan Kelima, yakni buruh tani dipersenjatai. Mereka kemudian menjadi korban kebiadaban PKI.
"Belajar dari pengalaman buruk pengkhianatan PKI tersebut, TNI tentu berusaha keras akan menolak ideologi lain sehingga menjadi tanda tanya besar jika ada yang meragukan ideologi prajurit TNI saat ini," kata dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Ginting tidak sependapat dengan tudingan Gatot Nurmantyo. Alasannya, kata dia, ada dua hal. Pertama, para prajurit telah diikat dalam sumpah ketika dilantik menjadi prajurit TNI. Dalam sumpah dan janji pertamanya, dinyatakan akan setia kepada NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, para prajurit TNI diikat dengan tujuh jalan hidupnya yang disebut Sapta Marga. Di marga pertama dan kedua, jelas-jelas disebutkan tentang Pancasila. Di marga pertama, sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila. Kemudian di marga kedua, sebagai patriot Indonesia, pendukung serta pembela ideologi negara yang bertanggung jawab dan tidak mengenal menyerah.
"Mengapa Gatot Nurmantyo tidak mengacu pada dua hal tersebut? Apalagi Gatot pernah menjadi Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat), KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) dan Panglima TNI. Mengapa dia meragukan penerusnya di TNI saat ini?" kata Ginting.
Setelah peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 (G30S)/PKI, menurut Ginting, dalam rekrutmen prajurit TNI, sangat ketat menyeleksi penilaian mental ideologi. Bahkan, ditelusuri hingga garis keturunan orang tua dan kakek neneknya agar bersih diri dari ideologi lain, selain Pancasila.
Dia menjelaskan, para perwira tinggi aktif saat ini, umumnya justru lahir setelah peristiwa kelam tahun 1965. Dia mencontohkan Panglima Kostrad Letjen TNI Dudung Abdurachman, misalnya. Kelahiran November 1965 dan dilahirkan dari keluarga besar TNI di Kodam Siliwangi. Kodam Siliwangi dikenal sebagai Kodam yang sangat antikomunis sejak bernama Divisi Siliwangi dipimpin Kolonel (Infanteri) AH Nasution.
"Ingat, ujung tombak penumpasan pemberontakan PKI tahun 1948 di Madiun dan sekitarnya adalah Siliwangi," kata Ginting yang malang melintang sebagai wartawan senior dalam liputan pertahanan keamanan negara itu.
Selain itu, Kostrad dan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) menjadi ujung tombak penumpasan G30S/PKI tahun 1965. Cikal bakal RPKAD yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu juga berasal dari Kodam Siliwangi. Sejumlah batalyon Kostrad di Jawa Barat, umumnya juga berasal dari Kodam Siliwangi yang dialihkan kepada Kostrad.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait: