Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad melihat adanya pasal yang berpotensi menjadi pasal karet di Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP).
Berdasarkan penjelasan Tauhid, pasal yang dimaksud adalah Pasal 7 Ayat (3) yang menyebutkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.
Baca Juga: Produktivitas PPN Tidak Ditentukan oleh Tarif, tapi Hal Ini...
"Artinya, single tarif dapat berubah sewaktu-waktu. Ini saya kira menimbulkan ketidakpastian yang tinggi bagi konsumen," ujar Tauhid dalam Diskusi Publik INDEF yang disiarkan secara daring, Rabu (6/10/2021).
Tauhid menjelaskan, dengan adanya pasal ini, ada kemungkinan tarif PPN dapat berubah menjadi 12%, 13%, atau 15%. "Jadi, ini pasal karet yang cukup berbahaya bagi siapapun," imbuhnya.
Ia mengakui ada kemungkinan tarif menjadi turun karena batas terendah adalah 5%. Namun, berdasarkan pengamatannya, hampir tidak ada negara-negara maju yang menurunkan tarif PPN-nya.
"Kalau kita lihat pengalaman di data OECD, umumnya [tarif PPN] itu meningkat. Memang ada batas rendah, tapi batas maksimalnya itu menjadi lebih tinggi dibanding tahun-tahun berikutnya. Saya kira ini menjadi hal yang dikhawatirkan apabila pasal ini diberlakukan," kata Tauhid.
Di sisi lain, Tauhid juga menyoroti ketentuan yang menyebutkan tarif PPN dengan Peraturan Pemerintah (PP) dapat diubah oleh pemerintah dengan berdiskusi dengan DPR. Menurutnya, ketentuan ini membuat ruang publik tidak dilibatkan dalam pembahasan perubahan tarif PPN.
"Tarif 5-15% bisa diubah oleh pemerintah tanpa ruang publik karena memang hanya berdiskusi dengan DPR. Dengan disahkannya RUU ini, otomatis tidak ada ruang publik lagi ketika suatu saat [PPN] ini meningkat karena UU ini sudah mengikat dan tidak perlu ada UU baru," terangnya.
Terlebih, perubahan tarif PPN nantinya hanya akan dipayungi oleh PP setelah disampaikan oleh pemerintah kepada DPR untuk dibahas dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Ia menilai hal ini cukup mengkhawatirkan.
"PP tidak cukup hanya untuk membahas kenaikan tarif PPN karena harus ada ruang publik yang perlu dibuka. Tidak cukup hanya pemerintah, tapi perlu didengarkan melalui forum parlementer," tukasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Imamatul Silfia
Editor: Puri Mei Setyaningrum