Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Harga Batubara Melambung, Industri Dalam Negeri Limbung

Harga Batubara Melambung, Industri Dalam Negeri Limbung Kredit Foto: Antara/Nova Wahyudi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Harga batubara yang tak terkendali mulai mengancam beberapa industri tanah air. Jika tidak ditangani dengan benar, batubara akan membuat efek yang berkesinambungan. Mulai industri kolaps sampai bermunculan pengangguran.  

Pemerintah harus segera melakukan intervensi guna menyelamatkan sejumlah industri di tanah air yang mengonsumsi batubara dalam kegiatan operasionalnya. Hal ini seiring dengan harga batu bara yang meroket hingga mencapai harga di atas US$ 200 per metrik ton.

Sejumlah industri yang terkena pukulan tingginya harga batu bara dan berakibat parah mengakibatkan kegiatan operasionalnya tidak bisa lagi berjalan maksimal. Bahkan, ada yang menurunkan kapasitas produksinya.  Industri tersebut di antaranya semen, tekstil, kertas, pupuk hingga industri pengolahan dan pemurnian serta industri kimia lainnya. 

“Pemerintah harus menetapkan selling price, harga maksimum batu bara untuk kebutuhan dalam negeri (DMO batu bara). Persyaratannya juga harus dicantumkan. Misalnya harus bayar tunai atau kredit dengan tenor berapa lama,” ujar Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Selasa (19/10/2021).

Sebagai informasi, harga batu bara saat ini masih berada di atas US$ 200 per metric ton. Harga yang begitu tinggi dikhawatirkan akan membuat pengusaha batu bara nasional jor-joran ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Dari data yang ada, tercatat pada Rabu (06/10/2021), harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) tercatat mencapai US$ 236 per ton, anjlok 15,71% dibandingkan hari sebelumnya yang mencapai US$ 280 per ton. Meski anjlok, tetap saja harganya masih membubung di atas US$ 200 per ton, tertinggi bahkan setidaknya sejak 2008 lalu.

Melihat tingginya harga batu bara seperti itu, Jemmy khawatir akan semakin banyak industri yang mengurangi kapasitas produksinya, bahkan ada tanda-tanda sejumlah industri akan menutup usahanya. “Kalau ini terjadi ujung-ujungnya karyawan akan dirumahkan lagi. Kami berharap hal tersebut tidak terjadi,” ujarnya.

Karena itu, Jemmy meminta kepada produsen batu bara agar juga memperhatikan kebutuhan batu bara dalam negeri. Pasalnya, jika dibandingkan untuk ekspor, kebutuhan DMO batu bara terbilang kecil, hanya 25%. Jika kebutuhan tersebut terpenuhi, industri tekstil dan industri lainnya bisa beroperasi secara full atau maksimal. 

“Intervensi pemerintah dengan selling price-nya, akan membuat pelaku industri mempunyai panduan atau patokan harga untuk DMO batubara sehingga mereka bisa berhitung untuk keperluan ongkos produksinya,” tandasnya. 

Sebelumnya, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyampaikan sinyalemen bahwa kenaikan harga batu bara justru bisa menjadi bumerang bagi industri dalam negeri. Pasalnya, ongkos yang harus dikeluarkan industri untuk sumber energinya akan menjadi lebih besar dari biasanya.

Namun, di sisi lain tren kenaikan harga batu bara ini bisa menjadi berkah bagi Indonesia karena bisa meningkatkan penerimaan negara. "Yang menjadi tantangan bagaimana batu bara di dalam negeri tetap kompetitif. Artinya, jika harganya terlalu tinggi industri dalam negeri akan kesulitan memperoleh energi karena terlalu mahal,” ujarnya.

Karena itu, Airlangga menekankan perlu adanya keseimbangan antar sektor agar industri tidak dirugikan dari lonjakan harga batu bara ini. “Kita harus mendorong keseimbangan antar-sektor tersebut,” tandasnya.

Namun, pernyataan Menko Perekonomian tersebut masih sebatas wacana. Pasalnya, hingga saat ini, pemerintah belum mengambil langkah-langkah strategis  guna meredam gejolak kepanikan industri-industri dalam negeri akibat tingginya harga batu bara.*

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi

Bagikan Artikel: