Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar Hukum: Wacana Revisi PP 109/2012 Tidak Urgen dan Belum Penuhi Unsur Partisipasi Publik

Pakar Hukum: Wacana Revisi PP 109/2012 Tidak Urgen dan Belum Penuhi Unsur Partisipasi Publik Kredit Foto: Antara/Ampelsa

Di waktu yang sama, Pengamat sekaligus Dosen dan Ahli Kebijakan Publik UNJANI, Riant Nugroho menilai, dalam konteks membuat kebijakan, pemerintah tidak bisa menyusun atas dasar kepentingan satu pihak saja. Begitupun dalam hal revisi PP 109/2012, yang mana pemerintah tidak hanya untuk melindungi kesehatan, melainkan juga melindungi semua pihak khususnya petani tembakau dan Industri Hasil Tembakau.

“Pembuatan kebijakan yang unggul itu ada tiga ciri. Yakni harus cerdas, bijaksana, dan memberikan harapan. Jadi proses revisi (PP 109/2012) yang hari ini dikerjakan, lebih baik berhenti dulu, back to zero, kemudian baru digagas, apakah kebijakan yang ada ini ada sudah mencapai hasil yang dulu dikehendaki, atau kurang, atau justru melebihi. Jadi, harus ada kajian kebijakan yang baik, baru kemudian disusun langkah selanjutnya. Pembuatan kebijakan pun, dalam demokrasi Pancasila yang dewasa, perlu melibatkan publik, yaitu mereka yang terdampak dengan kebijakan dan pakar kebijakan public,” demikian kata Riant Nugroho.

“Ingat, kebijakan publik yang unggul itu punya tiga ciri, cerdas, menyelesaikan masalah di inti permasalahan, bijaksana, menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah baru yang bahkan bisa lebih besar, dan memberi harapan kepada publik, bahwa kebijakan itu membawa kebaikan kepada kehidupan,” tambah Riant.

Selain itu, dalam pembuatan kebijakan pun, pemerintah tidak boleh mengikuti tren yang ada saat ini melainkan harus disusun berdasarkan kepentingan sosial, politik, ekonomi, infrastruktur dan keamanan nasional. Oleh karena itu, untuk mencapai delta dalam suatu regulasi harus ada hasil evaluasi yang benar dan baik berdasarkan kepentingan tersebut.

“Dalam membuat kebijakan, Pemerintah seyogyanya memperhatikan konstitusi. Pada pembukaan UUD 1945, ada janji bahwa Pemerintah dibuat untuk melindungi bangsa, menyejahterakan, mencerdaskan, dan mengkelas duniakan. Jadi, jika dibuat proksinya, maka 75% memenangkan kepentingan nasional (national interest), 23% memperhatikan kepentingan internasional, dan paling banyak 3% memperhatikan kepentingan lawan (enemy interest). Jangan terbalik, 75% ikut keinginan global, kemudian kepentingan lawan yang diam-diam mengancam, baru kepentingan nasional paling kecil. Nanti bisa dibilang policy maker negara jajahan atau dulu disebut kolonial Belanda sebagai “inlander”, yang takut dengan negara,” tegas Riant.

Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan, Fiskal, Pengendalian Aset, Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet, Trikawan Jati Iswono mengatakan pemerintah sangat berhati-hati dan independen dalam menyusun sebuah peraturan. Dalam hal rencana revisi PP 109/2021, pemerintah sejatinya tidak hanya fokus pada konteks kesehatan, melainkan dampak kepada IHT dan sektor terkait.

“Pemerintah juga tetap mempertimbangkan timing dan urgensi dari revisi peraturan ini. Saat ini dengan adanya pandemi, IHT sudah mendapat tekanan cukup berat. Ini yang harus jadi perhatian karena ini akan jadi basis penentuan kebijakan IHT,” terang Trikawan dalam paparannya.

IHT menurut Trikawan, selain berkontribusi terhadap ekspor juga memiliki kontribusi yang besar terhadap tenaga kerja. Berdasarkan catatannya, untuk pekerja di petani tembakau mencapai 2 juta orang, petani cengkeh sebanyak 1,5 juta orang, sementara tenaga pabrik menembus 600.000 orang dan pedagang ritel sekitar 2 juta orang. Itu artinya, kebijakan terhadap sektor ini memiliki dampak yang besar, alhasil pemerintah sangat berhati-hati mengambil keputusan sehingga revisi aturan ini belum mendapatkan persetujuan.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: