Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Walhi: Perdagangan Karbon Bisa Jadi Alasan Negara Maju Lari Dari Tanggung Jawab

Walhi: Perdagangan Karbon Bisa Jadi Alasan Negara Maju Lari Dari Tanggung Jawab Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pertemuan tingkat tinggi UN Climate Change COP 26, Glasgow, Skotlandia telah dimulai hari ini. Dalam pertemuan tersebut negara-negara dunia, termasuk Indonesia akan membahas komitmen pencapaian target perubahan iklim secara global.

COP 26 ini akan membahas dan memutuskan beberapa agenda pokok yang tertuang dalam Kesepakatan Paris, dimana isu krusial membahas soal implementasi artikel 6, di antaranya terkait dengan carbon offset. atau biasa disebut perdagangan karbon.

Namun, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menentang wacana perdagangan karbon yang akan dibahas tersebut. Disampaikan oleh Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Harmono, ia menilai hal itu hanya dalih dari negara besar untuk berkelit dari tanggung jawab yang lebih besar. Baca Juga: Generasi Muda Menilai Kecilnya Perhatian Parpol Terhadap Perubahan Iklim

“Ini langkah yang keliru menurut saya, Walhi menganggap bahwa mekanisme offset dagang karbon justru akan menimbulkan ketidakadilan selanjutnya, dalam konteks perundingan dan kesempatan terkait perubahan iklim ini,” ujarnya dalam konfresi pers virtual, Minggu (31/10).

Bukan tanpa alasan, menurutnya hal itu (mekanisme offset dagang karbon) mengalihkan perhatian dari upaya sesungguhnya untuk menuntut tanggungjawab negara maju menurunkan emisi secara drastis di teritori di negara mereka sendiri.

Ia menambahkan alasan lainnya yaitu  perdagangan karbon juga mengalihkan perdebatan soal tanggung jawab negara maju untuk menyediakan pendanaan bagi negara-negara berkembang untuk mentransformasi negara mereka agar sesuai dengan mandat Paris agreement supaya tidak mereplikasi model ekonomi negara-negara maju yang sangat tinggi karbon.

“Jadi arah menuju pembangunan yang rendah karbon itu juga harus didorong oleh penyediaan pendanaan yang konkrit,” kata Yuyun. Baca Juga: Dukung Komitmen Indonesia Atasi Perubahan Iklim Dunia, Ini Upaya BGRM

Lebih lanjut yuyun mengatakan berdasarkansebuah laporan terakhir, dari 23 negara maju tersebut tidak benar benar serius menanggapi persoalan iklim ini. Ia mengatakan dari komitmen penyediaan dana sebesar  100 dolar, hanya bisa mencapai 80%. Itupun sebagian besar digunakan untuk membiayai aktivitas Projek yang berbasis pada mitigasi.

“Artinya adaptasi perubahan iklim itu dianaktirikan. Celakanya lagi sebagian besar itu diberikan dalam bentuk utang, bukan dalam bentuk hibah. Ini artinya bukan kerja sama internasional, tapi upaya untuk menjebak negara-negara berkembang dalam mekanisme utang," imbuh Yuyun.

Ia menambahkan “Jadi ini bukan kerjasama internasional artinya ini adalah upaya untuk menjebak negara-negara berkembang dan mekanisme utang. Padahal kalau kita mau fair hal yang menjadi faktor pembeda dari negara-negara berkembang itu untuk mentransfer ekonomi adalah beban yang harus dibayarkan dan  ini tidak pernah dialamatkan pada upaya untuk membuat kerjasama yang ingin dibangun kedepannya kedua negara-negara maju ini seolah-olah kemudian mau lari dari tanggung jawab untuk menurunkan emisi yang lebih drastis.”

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: