Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Penting! Nggak Bisa Asal Konsumsi, Antibiotik Harus dengan Resep Dokter karena Risikonya...

Penting! Nggak Bisa Asal Konsumsi, Antibiotik Harus dengan Resep Dokter karena Risikonya... Kredit Foto: Pexels/Anna Shvets

UU Obat Keras tersebut menyatakan, obat keras tidak digunakan untuk keperluan teknik, mempunyai khasiat mengobati, menguatkan, mendesinfeksikan tubuh manusia, baik dalam bungkusan maupun tidak. Selain itu, disebutkan juga bahwa pada bungkus luar obat keras wajib mencantumkan kalimat "harus dengan resep dokter" sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. 197/A/SK/77 tanggal 15 Maret 1977.

Mengapa antibiotik mudah didapat?

Masyarakat masih banyak yang menganggap bahwa antibiotik adalah obat mujarab bagi segala penyakit. Di sisi lain, tenaga kesehatan pun masih ada yang belum memahami peruntukan antibiotik.

Mengutip survei Protecting Indonesia from the Threat of Antimicrobial Resistance yang terbit di jurnal BMJ Global Health, Prof dr Tri Wibawa PhD SpMK(K) mengatakan, terdapat tiga pola penerimaan antibiotik oleh masyarakat. Pertama, antibiotik diberikan bahkan sebelum orang meminta ke toko obat atau apotek (17 persen), misalnya untuk sakit perut, diare, dan batuk pilek.

"Jadi sebelum minta, sudah diberi terlebih dulu," kata Tri.

Kategori kedua, konsumen yang meminta dan langsung diberikan oleh pihak penjual (48 persen). Terakhir, penjual menolak memberikan antibiotik karena tidak ada resep dokter (31 persen).

"Tidak diberikan karena tidak bawa resep dokter," kata Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada ini.

Secara umum, antibiotik bisa didapatkan di apotek maupun toko obat. Mengapa toko obat mau memberikan antibiotik tanpa adanya resep dokter?

Menurut Tri, hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain karena salah persepsi bahwa antibiotik bisa menyembuhkan segala penyakit. Lalu, penjual tidak punya kualifikasi memadai karena tidak semua toko obat memiliki apoteker.

Baca Juga: Wah Jarang Diketahui Nih… Tanaman Mimba Ternyata Punya Manfaat untuk Masalah Diabetes

Selain itu, adanya kompetisi pasar di mana penjual berpikir konsumen bisa mendapatkan antibiotik dari toko lainnya. Penelitian itu dilakukan pada apotek dan toko obat di daerah perkotaan dan pedesaan.

Antibiotik yang paling banyak diberikan ialah lini pertama, seperti amoksisilin dan kotrimoksazol. Meski begitu, ada kekhawatiran bahwa antibiotik lini kedua, termasuk sefalosporin, juga diberikan tanpa resep.

Prof Tri mengatakan, pendekatan multi aspek perlu dilakukan untuk menyelesaikan persoalan resistensi antimikroba. Penguatan implementasi regulasi merupakan salah satu cara mengendalikan peredaran antibotik di masyarakat.

"Perlu juga mempertimbangkan faktor-faktor yang menjadi pendorong praktik penjualan antibotik tanpa resep, seperti motivasi untuk memaksimalkan keuntungan dari toko-toko obat, tingginya permintaan antibiotik dari pelanggan, dan dorongan dari pemilik untuk bersaing dengan toko lainnya," tutur Prof Tri.

Kontribusi masyarakat dalam pencegahan dan penanganan resistensi antimikroba juga diperlukan. Masyarakat perlu menggunakan antibiotik secara bijak, rasional berdasarkan resep dokter, dan tuntas sesuai petunjuk dokter sehingga angka kesembuhan meningkat dan mencegah kejadian resistansi.

Baca Juga: Covid Oh Covid... Pria Wajib Waspada! Catat Nih… Covid-19 Berpengaruh pada Kualitas Sperma Anda!

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: