Saat berpidato di pertemuan tingkat Kepala Negara G20 di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober 2021, Presiden Joko Widodo menyerukan pentingnya reformasi perpajakan internasional yang lebih adil.
Reformasi perpajakan internasional dinilai penting guna meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi untuk mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan. Penerapan pajak digital secara menyeluruh, diharapkan akan menciptakan keadilan bagi persaingan usaha.
Salah satu fokus forum G20 yang akan terus dilanjutkan pada Presidensi Indonesia di G20 tahun 2022 adalah meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi guna mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, berkelanjutan.
Hal itu dilakukan diantaranya melalui reformasi sistem perpajakan internasional yang lebih adil. Reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital (“negara pasar”) yang dikenal dengan Pilar 1.
Kemudian kepastian bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.
Mekar Satria Utama selaku Direktur Perpajakan Internasional DJP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan pada waktu penutupan KTT G20 di Italia, 137 negara anggota G20 telah menyetujui Solusi Dua Pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan di ekonomi digital.
"Pilar 1 adalah kesepakatan mengenai penerapan pajak digital. Sedangkan Pilar 2 dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules," kata Mekar satria Utama dalam diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertema KTT G20: Kejelasan Arah Pajak Global untuk Indonesia, Senin (15/11/2021).
Mekar menjelaskan, pembahasan mengenai kesepakatan pajak internasional di G20 telah lama dilakukan. Kemudian ada beberapa revisi dari draft pilar 1 dan pilar 2, dan ini juga telah disepakati di bulan Oktober 2021.
"Hingga pada waktu ketika penutupan KTT G20 di Italia, kurang lebih 137 negara secara sepakat untuk menyetujui Pilar 1 dan pilar 2," tegas Mekar.
Pemerintah Indonesia dikatakan Mekar telah mengantisipasi akan keberadaan perpajakan baru ini baru ke depan. Secara kebetulan Indonesia saat itu sedang membahas ada menyusun undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang sekarang telah menjadi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021.
"Dalam revisi undang-undang HPP tersebut memang sudah dimasukkan juga pasal-pasal untuk mengantisipasi ke depan apabila nanti pilar 1 dan pilar 2 berlaku di Indonesia," kata Mekar.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: