Moratorium Tidak Selesaikan Masalah, Peneliti CIPS Sebut Literasi Justru Harus Diperbanyak
Moratorium atau penghentian pendaftaran untuk perusahaan teknologi finansial atau financial technology (fintech) tidak akan menyelesaikan permasalahan fintech illegal, kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Thomas Dewaranu.
Hal ini menurutnya, diperlukan juga literasi untuk dapat membedakan fintech mana yang legal dan ilegal serta sistem elektronik yang tangguh untuk mencegah penggunaan data untuk menawarkan pinjaman ilegal melalui telepon genggam.
Baca Juga: Presiden FSA: Singapura Jadi Negara dengan Pendanaan Fintech Terkuat di ASEAN, Ini Alasannya
"Permasalahan utama ada di fintech ilegal, bukan legal. Mau ada moratorium atau tidak, fintech ilegal tetap akan beroperasi bila tidak ada penindakan tegas. Apalagi, banyak fintech ilegal beroperasi dengan cara meniru dan menggunakan logo dan nama dari fintech yang terdaftar untuk menarik perhatian calon konsumen," ujar Thomas dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa (16/11).
Ia menegaskan, upaya literasi agar masyarakat dapat mengidentifikasi fintech yang terdaftar dengan yang ilegal perlu ditingkatkan. Permasalahan lain yang seharusnya diselesaikan adalah akses fintech ilegal kepada data pribadi individu, seperti nomor telepon, yang digunakan untuk menawarkan pinjaman lewat pesan singkat maupun telepon langsung.
"Penawaran pinjaman kilat melalui pesan singkat sangat masif sekali. Nomor telepon masyarakat tersebar luas dan disalahgunakan untuk menjerat masyarakat ke dalam pinjaman dengan bunga yang tidak wajar. Ini membuktikan adanya praktik jual beli data konsumen dan kurangnya perlindungan atas kerahasiaan data tersebut," ungkapnya.
Ia menjelaskan, kerahasiaan data pribadi merupakan perlindungan terhadap privasi konsumen dan merupakan hak subjek data individu. Kerahasiaan ini mengacu pada tujuan pengumpulan data dan pemrosesannya, preferensi kerahasiaan, dan cara lembaga mengelola data pribadi. Kerahasiaan data pribadi memberikan kuasa bagi para individu pemilik data tersebut untuk menentukan penggunaan data pribadi mereka.
"Banyak kasus telah menunjukkan bahwa kehadiran fintech, utamanya yang berbasis pinjaman/lending, juga diikuti dengan risiko penyalahgunaan data pribadi pengguna layanan. Untuk mengatasi hal ini, sudah seharusnya ada sinergi yang baik antara regulator, pelaku industri fintech dan tentunya kesadaran pengguna layanan itu sendiri," kata Thomas.
Peneliti CIPS tersebut menyebutkan, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 Tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi yang mengharuskan setiap fintech di Indonesia mencatatkan diri ke OJK secara legal.
Menurutnya, fintech berperan penting dalam percepatan inklusi keuangan dan perannya menjadi makin penting di masa pandemi karena diterapkannya kebijakan pembatasan sosial dan adanya desakan kebutuhan dana dari kelompok masyarakat yang terkena dampak pandemi. Terbukti bahwa sampai dengan Oktober 2021, industri fintech telah menyalurkan dana pinjaman ke sektor produktif sampai sebesar Rp114 triliun.
"Perlindungan konsumen fintech diperlukan untuk memberikan rasa aman dan menjaga kepercayaan mereka dalam bertransaksi dengan lembaga ini. Rasa aman dan kepercayaan tersebut akan menumbuhkan industri keuangan dan menggerakkan sektor-sektor yang terdampak pandemi lewat skema pinjaman yang diajukan para konsumen," tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Puri Mei Setyaningrum