Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lagi dan Lagi... Pengamat Nilai Moeldoko Kerap Blunder

Lagi dan Lagi... Pengamat Nilai Moeldoko Kerap Blunder Kredit Foto: KSP
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pengamat politik dari UNPAD Firman Manan menilai Kepala Staf Presiden terlalu sering melakukan blunder yang merugikan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Firman mengingatkan bahwa keputusan Mahkamah Agung (MA) untuk menolak permohonan judicial review terhadap AD ART Partai Demokrat, merupakan blunder Moeldoko yang kesekian kalinya. 

Baca Juga: Ya Ampun Beneran Gawat Ini, Rocky Gerung Blak-blakan Sampaikan Potensi Pemakzulan Jokowi, Duh...

"Penolakan MA ini merupakan tamparan tersendiri. Konstruksinya saja sudah tidak lazim. KSP Moeldoko memotori gugatan terhadap Menkumham yang nota bene adalah sesama anggota kabinet. Objek gugatannya juga problematik. Tidak terbayang kekacauan hukum yang terjadi jika AD/ART organisasi boleh digugat sembarang orang. Andai dikabulkan, ini tentu mengancam kebebasan berserikat yang dijamin konstitusi," kata Firman kepada wartawan, Selasa (16/11/2021).

"Di tengah menumpuknya kasus-kasus peradilan yang belum selesai dan rasa keadilan masyarakat yang terluka, permohonan judicial review atas AD/ART Partai Demokrat ini sesungguhnya pemborosan sumber daya hukum," lanjut Firman.

Senada dengan Firman, pengamat politik Ubedilah Badrun mengatakan, bukan hanya dalam kasus Demokrat, Moeldoko melakukan manuver yang merugikan reputasi Pemerintah. 

Baca Juga: Sempat Disenggol Sampai Fadli Zon Didamprat Prabowo, Akhirnya Jokowi Bongkar Penyebab Banjir Sintang

"Dalam kasus Jiwasraya, terdakwa Hary Prasetyo pernah direkrut Moeldoko sebagai tenaga ahli. Pada saat itu, manipulasi keuangan para nasabah sudah dan sedang terjadi. Mustahil sebagai Kepala Staf Presiden dan mantan Panglima TNI, Moeldoko tidak melakukan background check. Kalau Moeldoko berdalih tidak tahu, berarti kemampuan intelijennya lemah. Apapun alasannya, ini menunjukkan Moeldoko tidak kompeten sebagai pembantu Presiden," katanya.

Selain itu, lanjut Ubedilah, "Masih ada dugaan kasus Ivermectin yang berujung gugatan pada ICW. Ada dua pertanyaan besar yang belum dijawab Moeldoko: bagaimana ia menjelaskan potensi konflik kepentingan yang terjadi sebagai pembuat kebijakan di satu sisi dan sebagai pihak yang berpotensi menerima manfaat (beneficial ownership) dalam bisnis distribusi Ivermectin? Perpres no 13/2018 yang ditandatangani Presiden tegas mengatur soal ini. Selain itu, kenapa ia merespon riset ICW justru dengan gugatan pengadilan?"

Baca Juga: Duh... Presiden Jokowi Diminta Evaluasi Arah Pembangunan Nasional, Ternyata Oh Ternyata...

Ubedilah, yang juga analis sosiologi-politik, sepakat dengan banyak politisi dan pengamat yang menyarankan agar Presiden Jokowi me-reshuffle Moeldoko jika tidak ingin citranya makin memburuk. 

"Saya banyak tidak setuju dengan sejumlah kebijakan Jokowi, tapi saya tahu ia pasti ingin meninggalkan legacy yang baik sebagai Presiden dengan caranya sendiri. Dalam konteks ini, manuver-manuver Moeldoko saya cermati lebih menjadi beban (liabilities) ketimbang aset bagi Jokowi dan pemerintahannya," tutup Ubedilah.[]

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: