Bahwa dalam rangka meligitimasi peran MUI berkaitan produk halal dan haram, pada tahun 2008 pemerintah telah memasukan MUI dalam undang undang, sebagai organisasi yang yang boleh mengeluarkan fatwa, dan fatwa yang dimaksud bukan hanya pada masalah halal dan haram pada jenis makanan akan tetapi juga masalah pengurusan di sebuah Bank, khususnya Bank Syariah, dan hal ini terlihat dalam UU Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008,
Pasal 32
(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.
Dengan begitu peran MUI di perbankan syariah menjadi penting, sebab pengesahan keberadaan Dewan Pengawas sebelum disahkan di Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) harus terlebih dahulu di rekomendasikan oleh MUI. Tanpa itu Dewan Pengawas tidak dapat disahkan dalam RUPS, dan peran rekomendasi MUI menjadi kebutuhan di sebuah perusahaan perbankan syariah.
Tidak hanya di UU Perbankan Syariah peran MUI, akan tetapi juga di UU No. 33 tahun 2014, tentang Jaminan Produk Halal. Dalam UU 33 Tahun 2014 berkaitan dengan produk halal pada hewan tertuang dalam pasal, 7 hurup c dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, BPJPH bekerja sama dengan:
a. kementerian dan/atau lembaga terkait;
b. LPH; dan
c. MUI.
Selain pasal 7 huruf c undang undang Produk Halal, pada 18 peran MUI sangat besar dalam menentukan serta menerbitkan serfikat halal pada hewan, hal ini tertuang di ayat 2 yang bunyinya sebagai berikut : Bahan yang berasal dari hewan yang diharamkan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.
Dengan merujuk pada parameter undang undang MUI bukan hanya sebagai organisasi biasa seperti FPI atau HTI yang seketika dapat dibubarkan kapan saja, akan mendapat tantangan besar bukan dari organ itu saja akan tetapi melingkup kepada domain pemeritah khususnya lembaga yang berkait dengan masalah Bank dan kementerian yang berhubungan dengan produk halal dan haram. Karena apabila dibubarkan maka dampaknya akan berimbas pada UU itu tadi dan dalam waktu tertentu ada banyak kekosongan yang terjadi berkaitan dengan cap halal dan haram.
Barangkali ada sekelompok orang berpikir, bagaimana peran MUI digantikan dengan NU atau Muhammadiyah. Ini akan sulit, sebab sudah dapat dipastikan akan terjadi tarik menarik kepentingan satu dengan yang lainnya. Selain itu sebagaimana dalam rangkuman sejarah perjalanan MUI bukankah NU dan Muhammadiyah telah masuk dalam Organisasi MUI.
Sehingga sebagai bentuk jamak dari sebuah organ, MUI bukan masuk dalam wacana dibubarkan, akan tetapi harus ada perombakan besar besaran agar MUI kembali kepada khitah awal, yaitu wadah rembuk ulama dan fatwa, bukan masuk pada politik praktis seperti Pilkada DKI dan biarlah wilayah politik dimainkan dalam gendang organisasi asal.
Sebab politik itu tidak seperti mengeluarkan sertifikat halal yang ada sumhernya, sedangkan politik itu seperti "kentut" yang terasa baunya tapi tidak tahu asalnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Vicky Fadil