Pemerintah Akui Kesalahan Terapkan Kebijakan Minyak Goreng, Pengamat Langsung Bilang...
Fenomena hilangnya minyak goreng dari pasar setalah Kementrian Perdagangan (Kemendag) menerapkan kebijakan Minyak Goreng Satu Harga Rp14 ribu per liter dinilai karena pengawasan yang lemah.
Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah mengatakan hilangnya minyak goreng setelah ada kebijakan tersebut akibat tata kelola yang buruk.
Baca Juga: Minyak Goreng Langka, Politikus PKS Ngegas: Pemerintah Harus...
"Perkara hilang pasaran karena memang ada persoalan di tata kelola. Memang pengawasannya lemah, mulai dari distribusi hulu ke hilir, di satu sisi law enforcement-nya juga minim," ujar Trubus saat dikonfirmasi WartaEkonomi, Jumat (4/2/2022).
Trubus mengatakan, akibat kekuatan hukum yang kurang jadi pengusaha dengan mudahnya mempermainkan harga tanpa perlu takut dengan sanksi yang akan diterima.
"Misalnya ada pelanggaran law enforcement-nya seperti apa sanksinya kan enggak ada itu," ujarnya.
Selain pengawasan dan kekuatan hukum yang jelas, pemerintah juga harus memastikan target dari kebijakan minyak goreng satu harga.
"Kalau misalnya dibikin Rp14 ribu harus dipastikan siapa pembelinya. Kalau mau dibikin Rp14 ribu siapa pembelinya ini harus tahu. Tapi produsen ngedumel dan menahan itu supaya harganya naik karena kemarin sudah menikmati dengan harga tinggi," jelasnya.
Hal serupa dilayangkan oleh Manager Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Badiul Hadi, menurutnya dalam menerapkan kebijakan baru sudah seharusnya pemerintah memiliki perencanaan yang baik menyikapi kenaikan harga minyak goreng.
"Antisipasi yang baik dari pemerintah akan menghasilkan kebijakan yang baik juga. Kebijakan subsidi untuk minyak goreng sehingga harganya Rp14 ribu akan sia-sia jika tidak perencanaan yang baik," ujar Badiul saat dihubungi.
Badiul mengatakan, selain karena harga CPO dunia yang melonjak tinggi, ia mengira ada permainan beberapa oknum sehingga minyak goreng harganya naik dan bahkan langka di pasar.
Untuk itu, ia berharap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) turut andil dalam pengawasan anggaran subsidi harga minyak goreng untuk memastikan tidak diselewengkan.
"Pemerintah perlu duduk bersama dengan stakeholder terkait untuk mengambil kebijakan yang lebih efektif, sehingga perosalan harga minyak goreng ini bisa menyelesaikan persoalan," jelasnya.
Bukan hanya itu, dalam kondisi seperti sekarang menurutnya pemerintah harus mengatur dari hulu hingga ke hilir bisnis minyak goreng untuk memastikan pasokan ada dan tidak merugikan masyarakat.
"Pemerintah harus serius menanangani ini, karena kenaikan harga minyak goreng juga berimbas ke naiknya harga komoditas lain," tegasnya.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kebijakan subsidi yang dilakukan melalui perusahaan minyak goreng adalah sebuah kesalahan.
"Selama subsidinya ke swasta dan bukan langsung ke penerima atau masyarakat miskin maka akan terjadi kesenjangan antara pasokan dan permintaan. Kemarin chaos sekali penyaluran minyak goreng subsidi dan menimbulkan indikasi adanya penimbunan. Hal ini karena satu orang bisa beli lebih dari satu kemasan," ujar Bhima.
Selain itu, Bhima melihat sanksi yang diberikan kepada produsen minyak goreng sangat lemah. Dimana hingga saat ini menurutnya belum ada produsen minyak goreng yang dicabut izin ekspor maupun usaha karena gagal menyalurkan minyak goreng ke dalam negeri.
"Apa ada produsen minyak goreng yang dicabut izin ekspor atau izin usaha karena gagal menyalurkan minyak goreng? Kan tidak ada itu. Akibatnya ya suka suka si produsen mau gulirkan pasokan berapa ke pasar. Dalam hal ini pemerintah memang kurang tegas," tegasnya.
"Problem lain adalah terlambatnya kebijakan DMO untuk CPO sebagai kunci stabilitas pasokan dan harga di produsen minyak goreng. Sebelum subsidi minyak goreng idealnya ada DMO dulu," tutupnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Alfi Dinilhaq
Tag Terkait: