Kepemimpinan nasional bukan hanya presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, melainkan juga mencakup ketua-ketua lembaga tinggi negara, kepala daerah, gubernur, dan bupati/walikota baik yang ada di pusat maupun daerah. Kepemimpinan nasional sangat penting dalam penyelenggaraan administrasi negara karena pada hakikatnya Adminitrasi Negara adalah keseluruhan proses kerja sama lembaga tinggi negara dalam mencapai tujuan negara. Untuk itu, komunikasi pimpinan nasional baik secara formal maupun informal sangat penting dalam mewujudkan tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Dalam menghasilkan pimpinan nasional, ada proses politik yang harus dilakukan sesuai dengan UU, yaitu pemilu.
Infrastruktur politik berupa partai politik merupakan wadah penting untuk rekrutmen kader-kader partai sebagai calon pimpinan nasional karena ini adalah amanah Undang-Undang. Masalahnya, apakah partai sudah punya standard operating prosedur (SOP) dalam rekrutmen kader. Fakta menunjukkan bahwa dalam rekrutmen kader partai belum punya SOP yang jelas. Hal ini kita lihat banyaknya kader partai yang kecewa dalam partainya pindah ke partai lain, atau mendirikan partai baru sehingga kader-kader partai banyak yang berpikiran pragmatis, dan mengesampingkan kepentingan jangka panjang, idealisme, dan ideologis. Di samping itu, dalam suksesi kepemimpinnan partai juga banyak yang berakhir dengan kericuhan dan perkelahian/adu fisik.
Baca Juga: Demokrat Sebut Capres-Cawapres Wajib Kader Parpol, Luqman PKB Bilang Begini
Untuk itu, parpol harus mampu menyelenggraan pendidikan politik yang beretika dengan mengacu 4 pilar MPR RI, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dengan prinsip politik yang beretika, kita terbiasa berbeda pendapat, pemikiran, dan sikap, tetapi tetap saling menghargai dan menghormati serta bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pada pemilu DPR pada Pemilu 2019, UU No 7/2017 mengatur bahwa "Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas (parliamentary threshold) perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Selanjutnya, ketentuan itu tertulis kembali pada Pasal 222 UU No 7/2017, dasar hukum Pemilu 2019. Di sana disebutkan bahwa "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit (presidential threshold) 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya. Dengan adanya parilimentary dan presidential threshold ini, secara otomatis akan menyisihkan kader-kader partai yang berkualitas, tapi tidak memenuhi syarat ambang batas untuk maju menjadi calon pimpinan nasional.
Pengalaman sejarah suksesi kepemimpinan nasional menunjukkan, baik sebelum kemerdekaan di masa kerajaan (Singosari, Madjapahit, Mataram) maupun sesudah kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, reformasi, termasuk suksesi kepemimpinan partai politik, suksesi tidak berjalan mulus dan damai serta selalu berakhir ricuh. Hal ini menimbulkan pertanyaan adakah pendidikan politik yang beretika dengan mengacu empat pilar dalam partai politik baik yang berkarakter agama maupun nasionalis? Sampai sekarang kita meninggalkan sejarah suksesi kepemimpinan nasional yang kurang cantik. Proses pemilu mengunakan isu primordial, agama, suku, daerah, hal yang wajar, sepanjang punya gagasan visi yang jelas. Seharusnya, setelah 70 tahun lebih kita merdeka, masalah perbedaan suku, ras, agama sudah selesai karena kita punya 4 Pilar. Ke depan kita lebih mengedapankan politik yang beradu ide/gagasan dan narasi serta strategi mewujudkannya dalam mencapai tujuan negara.
Meskipun pemilu dan pilkada serentak masih 2 tahun lagi, hiruk pikuk pilkada dan pemilu serentak sudah mulai ramai dan ini pertama kali KPU menyelengarakannya. Pemerintah, DPR, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyepakati tanggal pemungutan suara Pemilu Serentak dan Pilkada Serentak 2024. Pemilu akan digelar 14 Februari, sedangkan pilkada dihelat 27 November.
Keputusan itu diambil pada rapat (RDP) di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (24/1). Tiga pihak menyetujui usulan yang dibawa KPU dalam rapat tersebut. Penyelenggaraan pemungutan suara Pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI dilaksanakan pada Rabu, 14 Februari 2024, sedangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil walikota dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024.
Kita berharap dalam penyelengraan PEMILU 2024 harus berjalan dengan jujur, adil, dan demokratis agar suksesi kepemimpinan nasional berjalan mulus, dan ini menyangkut eksistensi NKRI ke depan. Ada dua pendulum yang harus kita pertimbangan agar suksesi kepemimpinan nasional berjalan mulus, yaitu adanya 1) luka-luka lama dan baru antar anak bangsa yang belum terobati, dan 2) Indonesia saat ini sedang menghadapi bahaya besar tanpa disadari oleh pemerintah karena berada di tengah pertarungan supremasi antara Amerika Serikat (AS) dan Cina.
Untuk itu, harus ada skenario suksesi kepemimpinan Indonesia damai dengan mepertimbangkan kedua pendulum tersebut di atas agar terjadi keseimbangan baru dan melahirkan kepemimpinan baru yang punya visi dan mampu mewujudkannya. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab membuat skenario ini? Tentunya kita berharap Presiden Jokowi sebagai leader yang mampu menjadi dirigen dalam membuat skenario ini untuk kepentingan nasional dengan melakukan konsolidasi nasional melalui komunikasi intensif berbasis hati nurani dengan semua komponen anak bangsa.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum