Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Jika Pendidikan Pluralisme Diangkat, Ini Sederet Keuntungan Luar Biasa buat Presidensi G20 Indonesia

Jika Pendidikan Pluralisme Diangkat, Ini Sederet Keuntungan Luar Biasa buat Presidensi G20 Indonesia Kredit Foto: Muhammad Syahrianto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Presidensi Indonesia pada G20 menjadi peluang luar biasa untuk menunjukkan pentingnya pendidikan pluralisme. Pendidikan lintas agama itu juga bisa berimbas sebagai pendorong dunia untuk keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19.

Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Presiden Forum Lintas Agama G20, Dr Katherine Marshall dalam webinar internasional bertema "Pendidikan Agama dan Lintas Agama untuk Masyarakat Majemuk yang Damai" yang diadakan Institut Leimena bersama The Sanneh Institute, Selasa (15/2/2022) malam.

Baca Juga: Angkat Isu Kesehatan Global, Presidensi G20 Indonesia Dipuji Blinken

Marshall mengatakan, krisis yang dihadapi masyarakat global saat ini memperlihatkan adanya ketidaksetaraan, lemahnya kualitas pemerintahan, dan konflik antar berbagai kelompok berbeda.

"Saat ini Indonesia mempunyai kesempatan sebagai ketua dari Forum G20. Forum lintas agama G20 sendiri bertujuan memupuk suara keragaman lintas agama ke dalam diskusi global sehingga presidensi Indonesia ini menjadi sesuatu yang sangat bermakna," kata Marshall dalam keterangan pers Institut Leimena, Kamis (17/2/2022).

Marshall, yang juga senior fellow di Georgetown University Amerika Serikat, mengatakan, bahwa Indonesia bisa memanfaatkan kepemimpinannya di G20 untuk memastikan para pemimpin dunia tidak hanya terfokus pada isu-isu yang "mati".

Isu itu semisal yang berkutat pada arsitektur keuangan dan alokasi Special Drawing Rights (SDR) dari Dana Moneter Internasional (IMF). Sebaliknya, pemimpin dunia bisa melihat pelajaran yang muncul dari kedaruratan Covid-19 untuk pendidikan terutama pendidikan keberagaman.

"Saya rasa Indonesia memiliki kesempatan khusus untuk menunjukkan lewat contoh keragamannya sendiri," ujarnya kepada lebih dari 960 peserta webinar dari sekitar 27 negara.

Marshall mengatakan, bagian utama dari krisis pendidikan dunia adalah belajar untuk hidup bersama dalam masyarakat yang semakin beragam etnis dan agama. Forum Lintas Agama G20 adalah sebuah inisiatif penting untuk mendampingi pertemuan G20 agar agama-agama selalu menjadi bagian dari agenda global.

Sebagaimana tema presidensi Indonesia dalam G20 Recover Together, Recover Stronger sehingga pemulihan akibat krisis Covid-19 tidak bisa dilihat dari sisi ekonomi semata, melainkan semua bidang kehidupan.

"Kita lihat pandemi membawa sisi terbaik manusia, ada tujuan yang sama. Tapi sering juga membawa bagian terjelek dari sisi manusia dimana kita sering menyalahkan satu sama lain dan meminggirkan satu bagian dari masyarakat kita. Di situlah, umat beragama, kelompok beragama membawa kebaikan dalam situasi ini," ujarnya.

Pluralisme di Afrika

Direktur Eksekutif The Sanneh Institute, Dr John Azumah mengatakan, Afrika merupakan negara yang sangat plural karena memiliki banyak keragaman agama. Di Afrika, lazim ditemui 3-4 agama dalam suatu keluarga.

The Sanneh Institute adalah lembaga berbasis di Ghana, Afrika Barat, berisi komunitas ilmiah yang didedikasikan untuk memperlengkapi dan menyediakan sumber daya bagi pemimpin agama, cendekiawan, lembaga akademik, dan masyarakat Afrika lewat penyelidikan lebih lanjut. Keberadaan The Sanneh Institute terkait erat dengan kondisi di Afrika.

Meskipun mayoritas warga benua itu adalah orang beragama, hanya sedikit penganut bahkan pemuka agama yang mengenal agamanya secara dalam. Hal itu kerap memunculkan prasangka dan stereotip karena sikap picik atau sekadar ketidaktahuan.

"Kita mendapatkan situasi dimana stereotip, prasangka, justru semakin dipupuk dan ini bisa menjadi situasi sangat matang bagi intoleransi, khususnya ekstrimisme dengan kekerasan seperti kita lihat di Afrika," kata Azumah.

Plural di Mata Mereka 

Sementara itu Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti mengatakan, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi yang mengembangkan Pendidikan Agama Islam (PAI) pluralistis.

Pendidikan tersebut memuat bahwa para siswa Kristen di lembaga itu bisa mendapatkan pelajaran agama Kristen. PAI pluralistis bukan sinkretisme (pencampuran ajaran agama), tapi mendorong pengamalan ajaran agama dan menumbuhkan toleransi.

"Itulah sebabnya beberapa murid kami menjadi seorang Kristen Muhammadiyah. Pemeluk agama Kristen atau Katolik, tapi pada saat bersamaan menjadi simpatisan dari organisasi Muhammadiyah, bahkan aktif di beberapa gerakan," kata Prof Mu’ti.

Senior Fellow Institut Leimena dan Mantan Utusan Khusus Presiden RI untuk Timur Tengah dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), Prof Alwi Shihab, memberi contoh hubungan tidak bersahabat selama berabad-abad antara agama Abrahamik yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Perasaan getir dan permusuhan, diperkuat oleh literatur berupa opini dan fatwa yang diproduksi dalam situasi permusuhan oleh sebagian pemuka agama masing-masing.

"Adalah tanggung jawab kolektif para pendidik dan pemuka agama masing-masing untuk introspeksi diri dan berusaha kembali ke sikap dan pandangan yang lebih bersahabat. Tujuan ini tidak mungkin tercapai kecuali melalui pendidikan untuk mengoreksi hal-hal yang merupakan sumber konflik dan permusuhan," kata menteri luar negeri tahun 1999-2001 itu.

Senior Fellow University of Washington, Dr. Chris Seiple, mengatakan pendidikan lintas iman ibarat membuat gado-gado, bukan melebur bahan menjadi satu tetapi mempertahankan identitas setiap bahan untuk menjadi suatu perpaduan yang lezat.

Sementera Direktur Eksekutif Institut Leimena, Matius Ho, mengatakan pendidikan agama berperan penting dalam masyarakat majemuk karena mempengaruhi bagaimana kita melihat dan memperlakukan mereka yang berbeda agama dan kepercayaan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: