Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Cuekin Sukhoi dan Borong Jet Tempur Rafale, Indonesia Kini Dianggap Condong ke Barat

Cuekin Sukhoi dan Borong Jet Tempur Rafale, Indonesia Kini Dianggap Condong ke Barat Kredit Foto: Dassault Aviation
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebijakan politik Indonesia kini lebih condong ke blok Amerika Serikat (AS). Spekulasi ini muncul setelah Kementerian Pertahanan (Kemhan) memborong Rafale, jet tempur buatan Prancis.

Dalam jumpa pers virtual Kamis (17/2/2022), Duta Besar Rusia untuk Indonesia Lyudmila Vorobieva mengatakan, Rusia hingga kini belum menerima informasi pembatalan kesepakatan pembelian jet tempur Sukhoi Su-35 full combat. Pada 2018, Indonesia sepakat membeli 11 unit jet tempur Sukhoi Su-35 di era Menteri Pertahahan (Menhan) Ryamizard Ryacudu.

Baca Juga: Borong Jet Tempur Dassault Rafale, Indonesia Bikin Rusia Bingung Soal Rencana Pembelian Sukhoi

Seperti dalam pemberitaan Rakyat Merdeka edisi 18 Februari 2022, Dubes Rusia Masih Ngarep Indonesia Jadi Beli Sukhoi, usia masih berharap kesepakatan Sukhoi akan tercapai.

“Tapi terserah Indonesia untuk melanjutkannya,” kata Vorobieva.

Dalam diskusi virtual yang diadakan International Defence Diplomacy, kemarin, analis dan pengamat militer dari Lab 45, ndi Widjayanto mengungkapkan, Indonesia memborong jet tempur Prancis dan AS karena ingin menggantikan skuadron yang isinya pesawat tua.

“Awalnya kita mau beli Sukhoi SU-35 untuk menggantikan skuadron yang isinya F5. Jet tempur itu kini terparkir di Lanud Iswahyudi, Madiun, Jawa Timur,” terang Andi Widjajanto

Namun, Andi menilai, Indonesia seperti kesulitan untuk menuntaskan pembelian Sukhoi Su-35 lantaran pembeliannya menggunakan metode imbal dagang. Menurutnya, pembelian dengan imbal dagang ini bermakna, tak semua pembayarannya dilakukan dengan uang tunai, tetapi bisa juga dengan komoditas yang dijual ke Rusia.

“Kalau melihat India, pembayaran tunai bukan dilakukan dalam dolar AS, melainkan Rubel dan Rupee. Susah buat kita untuk memakai Rubel dan Rupiah,” ujarnya.

Analisa Australian Strategic Policy Institute di laman website-nya, salah satu alasan mengapa Indonesia lambat dalam memproses pembelian Sukhoi Su-35 karena adanya ancaman sanksi AS, yaitu CAATSA (Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act) yang diloloskan senat pada 2017.

Dengan CAATSA, Paman Sam berhak menjatuhkan sanksi kepada negara mana pun yang membeli Alutsista (Alat Utama Sistem Senjata) dari tiga negara, yakni Iran, Korea Utara dan Rusia. Moskow ada dalam daftar itu karena usia dianggap Barat melakukan aneksasi Crimea di Ukraina, peperangan di Suriah dan mengacaukan pemilu AS pada 2016.

Menurut Andi, Indonesia bakal kesulitan seandainya pembelian Sukhoi tetap berjalan.

“Sebab, mekanisme yang berlaku hanya imbal dagang tanpa transfer teknologi. Jadi kita kesulitan dalam proses perbaikan dan pemeliharaan. Karena harus meminta bantuan negara ketiga seperti Belarus,” paparnya.

Berbeda dengan analis bidang militer Connie Rahakundini Bakrie. Ia khawatir aksi borong produk Prancis dan AS ini dapat mengubah kebijakan luar negeri Indonesia. Dia menyebut, sebelumnya, Indonesia berupaya membeli produk militer dari dua kubu berbeda.

“Indonesia kan memiliki paham non blok. Jadi, tidak akan berat condong ke kubu Barat maupun ke kubu Rusia. Tapi pembelian pesawat itu, menunjukkan kita condong ke Barat,” ujarnya dalam diskusi virtual yang diadakan di Facebook, Selasa (15/2),

“Sekarang kita tidak beli apa-apa dari Rusia, China atau pun blok non Amerika dan NATO. Artinya kita telah menjadi bagian dari aliansi Amerika Serikat,” tandasnya.

Sebelumnya, Indonesia menyatakan akan membeli 42 jet Rafale dari Prancis dan 36 F-15ID dari AS. Khusus Rafale, Indonesia resmi membeli enam armada. Sedangkan, 36 jet tempur Rafale diklaim akan segera menyusul dalam waktu dekat.

Pembelian itu ditandai melalui penandatanganan yang dilakukan Kemhan dengan pihak Dassault Aviation, di Jakarta, Kamis (10/2).

Acara penandatanganan dalam bentuk Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) itu disaksikan langsung Menhan Prabowo Subianto dan Menhan Prancis Florence Parly.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Bagikan Artikel: