Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Global Connections
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kekerasan Seksual Anak Meningkat, Bagaimana Kelanjutan RUU TPKS sebagai Payung Hukum Bagi Korbannya?

Kekerasan Seksual Anak Meningkat, Bagaimana Kelanjutan RUU TPKS sebagai Payung Hukum Bagi Korbannya? Kredit Foto: Unsplash/Aaron Mello

“Dalam UU tersebut, ancaman pidana yang paling tinggi adalah pidana mati apabila kasus masuk ke dalam kategori persetubuhan dan korbannya lebih dari satu orang. Di samping itu, ada pemberatan sepertiga hukuman untuk kasus-kasus tertentu, misalnya kekerasan seksual dilakukan oleh orang terdekat korban, seperti orangtua, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, pengasuh, dan wali,” ungkap Nahar. 

Di samping penetapan hukuman pidana maksimal dan hukuman tambahan terhadap pelaku, Nahar menegaskan korban memiliki hak untuk menerima ganti rugi atau restitusi. 

“Jangan sampai pidana pokoknya dilaksanakan, tetapi dendanya tidak dibayar dan digantikan dengan melaksanakan subsider. Saya pikir persoalannya belum selesai karena ada korban akibat kejadian kekerasan seksual tersebut. Maka, kita harus mengantisipasi jangan sampai kejadian ini berdampak kepada tumbuhnya kejahatan baru akibat ketidaksempurnaan kita dalam memperhatikan kewajiban pelaku dan kepentingan korban,” tutur Nahar. 

Nahar menyebutkan, KemenPPPA telah melakukan berbagai strategi untuk menangani kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia, mulai dari langkah pencegahan, penanganan, hingga penguatan kelembagaan. “Strategi inilah yang tidak pernah berhenti kita lakukan, 

Salah satu upaya pencegahan yang dilakukan adalah membangun sistem Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA), misal kasus kekerasan seksual oleh seorang ayah terhadap anaknya di Depok Jawa Barat. Kabupaten/kota yang belum mendapat penghargaan dengan yang sudah menerima penghargaan, akan memiliki cara yang berbeda ketika menghadapi kasus seperti ini. Bahkan bisa jadi kabupaten/kota yang belum memiliki status KLA, penanganannya akan lebih lambat,” jelas Nahar. 

Lebih lanjut, Nahar menuturkan, KemenPPPA juga memiliki layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang dapat dihubungi oleh masyarakat melalui Call Center 129 maupun Whatsapp 08111-129-129 sebagai langkah penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. 

Selain itu, terdapat UPTD PPA di 33 provinsi dan unit layanan lainnya. “Ke depan, penanganan UPTD PPA akan terpadu dan terintegrasi dari sisi kesehatan, rehabilitasi sosial, pendampingan hukum, pendampingan psikososial, dan lain sebagainya. Inilah yang terus dibangun pemerintah, khususnya KemenPPPA,” ujar Nahar. 

Menurut Nahar, penguatan kelembagaan terkait penanganan kasus kekerasan seksual tidak cukup dengan adanya regulasi ataupun kelengkapan sarana prasarana. Namun, APH juga harus memiliki pemahaman terkait pemenuhan dan perlindungan anak. 

“Apabila tidak, kemungkinan pasal yang akan digunakan adalah pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tidak merujuk pasal perlindungan khusus anak. Karena ketika menggunakan standar umum, akan selalu mengacu pada KUHP. Padahal ada beberapa perubahan kebijakan yang sudah memberikan perhatian lebih kepada korban,” tutup Nahar.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rena Laila Wuri
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: