Rektor Universitas Prasetiya Mulya Djisman Simandjuntak memandang Indonesia dianggap mampu mempertahankan kinerja ekonominya kendati terdapat risiko dari konflik Rusia-Ukraina dan melambungnya berbagai harga komoditas dan energi.
Ketika Indonesia sudah hendak bangkit dari dampak pandemi Covid-19, terjadilah krisis energi, bahkan sebelum Rusia menginvasi Ukraina. Harga energi melambung tinggi, menimbulkan beban tambahan bagi ekonomi dunia. Semua proyeksi tentang pertumbuhan ekonomi dunia terkoreksi.
“Mendadak terjadi krisis Rusia - Ukraina, diikuti oleh sanksi ekonomi yang isinya beragam. Dengan sanksi ekonomi ini, dampak buruk krisis energi memburuk. Rusia dan Ukraina memainkan peran sangat penting dalam pasar energi dunia dan pasar strategic material. Strategic material merupakan material berkegunaan ganda dan berperan sangat sentral dalam perkembangan ekonomi nasional, regional, dan global. Sanksi ekonomi ini pasti mendatangkan banyak dampak buruk. Tata kelola dunia akan memasuki tahap baru,” ujar Djisman Simandjuntak saat Research Talk Universitas Prasetiya Mulya di Jakarta, baru-baru ini.
Bagi Indonesia, salah satu dampak terpenting adalah lonjakan harga-harga komoditas. Lonjakan harga ini memberikan windfall yang berat kepada Indonesia. Dengan lonjakan harga internasional, divergensi harga dunia dan harga lokal melebar dan menimbulkan banyak masalah di dalam negeri, seperti masalah minyak goreng. Baca Juga: Duh, Invasi Rusia Bakal Memperburuk Tingkat Inflasi
“Sekarang kita perlu mencari jalan untuk memanfaatkan, membangun, dan menyelesaikan persoalan sangat struktural. Dengan windfall itu kita berhadapan dengan beberapa risiko, termasuk inflasi dan kenaikan biaya produksi pangan. Jangan lupa, pasokan bahan dari Rusia sangat penting bagi industri pupuk. Akan ada juga kenaikan biaya manufaktur dan jasa, yang sekarang belum kita rasakan. Jika bergerak di bisnis yang menggunakan banyak plastik dan gandum, Anda pasti sudah bisa merasakannya," ungkapnya.
Menurutnya, Indonesia perlu memikirkan dengan saksama agar lonjakan harga tidak menimbulkan gejolak di dalam negeri. Kita adalah negara yang dianggap mampu mempertahankan kinerja ekonomi yang cukup kuat. Indonesia perlu meramu kebijakan untuk menjaga upaya pemulihan ekonomi yang sangat diperlukan untuk mencipta lapangan kerja.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif CSIS Indonesia Yose Rizal Damuri menilai, konflik antara Rusia dan Ukraina merupakan ancaman terhadap pemulihan perekonomian Indonesia yang saat ini masih berada dalam kondisi rapuh akibat hantaman pandemi Covid-19. Oleh sebab itu, Indonesia perlu segera melakukan langkah antisipasi yang diperlukan.
Pertama, Indonesia perlu tetap mempertahankan perekonomian terbuka dan tidak protektif. Perekonomian terbuka amat menolong untuk keluar dari krisis ekonomi atau paling tidak mencegah krisis kian membesar.
"Lalu aktif mencari berbagai sumber pasokan alternatif. Sumber pasokan alternatif mesti giat dicari, karena kita tidak bisa mendapatkan barang dari Rusia dan Ukraina. Ini berhubungan dengan poin 1, yang memungkinkan kita bisa mengimpor barang, jika diperlukan," tambahnya.
Ketiga, mempersiapkan kebijakan fiskal dan moneter yang lebih berhati-hati untuk mencegah peningkatan inflasi. Keempat, menyiapkan jaring pengaman sosial yang lebih efektif, dengan memanfaatkan windfall benefit dari kenaikan harga komoditas internasional. Baca Juga: Diskors dari Dewan HAM PBB, Rusia Putuskan Hengkang Sekalian
"Terakhir, menjadikan ini momentum untuk transisi energi dan skema ketahanan pangan yang lebih baik. Transisi energi akan meningkatkan kemandirian dan kestabilan pengadaan energi Indonesia sehingga meningkatkan resiliensi perekonomian kita terhadap masalah terkait ketahanan energi," paparnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajar Sulaiman