Laporan Investment Management Association of Singapore (IMAS) terbaru mengungkapkan bagaimana pasar menyoroti perkembangan perekonomian global, khususnya tensi yang meninggi antara China dan Amerika Serikat (AS) di 2025.
Chairman of IMAS, Jenny Sofian mengungkapkan bahwa pasar tengah berjibaku dengan berubahnya perekonomian global yang semakin kompleks pada tahun ini, termasuk dalam kawasan dari Asia.
Baca Juga: Ditelisik Soal Volatilitas Transaksi, Primarindo Asia (BIMA) Bilang Begini ke BEI
“Di tengah ketidakpastian geopolitik dan dinamika pasar yang berubah, perusahaan investasi dituntut untukberadaptasi dengan cepat guna menghadapi berbagai tantangan pasar,” kata Jenny, dilansir Senin (13/1).
Laporan terbaru pihaknya mengungkapkan bahwa kekhawatiran pasar telah bergesar dari kekakutan akan inflasi berkepanjangan menjadi fragmentasi tatanan global khususnya terkait dengan raksasa ekonomi dunia seperti China dan AS.
Hubungan kedua negara tersebut kini tengah memanas menyusul kemunculan sejumlah sinyal-sinyal perang dagang yang bermunculan antara kedua negara tersebut. Pasar khawatir peningkatan konflik geopolitik ini akan memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian global dan pasar keuangan.
Mayoritas pasar percaya bahwa suku bunga akan diturunkan sebanyak 0,75 point oleh Federal Reserve (The Fed). Optimisme bahwa bank sentral tersebut akan berhasil mencapai soft landing menguat seiring dengan meredanya ketakuan akan inflasi berkepanjangan di AS.
Meski begitu, tantangan hingga ketakukan akan inflasi baru datang dari arah kebijakan yang akan dibawa oleh Presiden Terpilih, Donald Trump. Trump telah berulang kali menyatakan akan menerapkan kebijakan proteksionis, termasuk mengenakan tarif impor tinggi kepada sejumlah negara, termasuk China.
AS juga baru-baru ini memperketat pengawasan terhadap sejumlah perusahaan besar dari negara tersebut dengan mengklasifikasikan mereka sebagai "perusahaan militer" dari China. China turut melakukan hal serupa dengan menerapkan pengawasan ketat terhadap perusahaan yang berasal dari negara saingannya itu dengan alasan keamanan negara.
IMAS juga mengungkit bahwa pasar juga dikhawatirkan dengan perekonomian yang terus melambat di China. Beijing yang telah mengeluarkan beragam stimulus untuk mendongkrak perekonomian nasionalnya belum dapat memetik hasil yang memuaskan. Bank Sentral China (PBOC) baru-baru ini bahkan mengumumkan bahwa mereka telah menangguhkan pembelian obligasi pemerintah di pasar terbuka karena kekurangan pasokan.
"54% responden khawatir terhadap meningkatnya ketegangan perdagangan. 23% memprediksi pasar akan terdampak oleh melemahnya ekonomi dari Tiongkok," ungkap laporan dari IMAS.
Baca Juga: Digandeng Happy Hapsoro, Ini Alasan Arsjad Rasjid Hanya Punya Satu Lembar Saham di RAJA
Meski begitu, pasar masih memiliki optimisme terhadap prospek jangka panjang untuk pasar dari Asia. Diharapkan, kebijakan moneter hingga dinamika perekonomian global akan bergerak ke arah yang lebih baik.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Advertisement