Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Soal Isu BPA, Pendiri AJI: Wartawan Harus Cermati dalam Pilih dan Pilah Narasumber

Soal Isu BPA, Pendiri AJI: Wartawan Harus Cermati dalam Pilih dan Pilah Narasumber Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Satrio Arismunandar, salah satu pendiri organisasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan pengajar Ilmu Komunikasi, menyatakan keprihatinan dan kritiknya terhadap fenomena hilangnya sikap kritis wartawan dalam memilih, memilah, dan mengonfirmasi informasi sebelum diangkat menjadi berita dan disebar ke publik.

Dalam membuat sebuah berita, seorang wartawan harus dengan cermat dalam memilih narasumber yang sesuai dengan materi beritanya. Hal itu bertujuan agar berita-berita yang disampaikan ke masyarakat itu benar-benar berita yang tidak abal-abal alias hoaks. Hal itu disampaikan salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Satrio Arismunandar melihat fenomena pemberitaan yang terjadi di media-media online terkait polemik BPA dalam produk AMDK Galon yang berbau isu persaingan usaha antara produsen air minum dalam kemasan (AMDK) di Indonesia.

Baca Juga: Pengamat Media Kritisi Survei Galon YLKI

"Dalam prinsip-prinsip jurnalistik, wartawan itu harus melihat dengan cermat apakah narasumber yang diwawancarai atau dikutip itu memang memiliki kapabililtas atau otoritas atau basis keilmuan tertentu ketika dia diminta untuk menyatakan pendapat tentang hal-hal tertentu yang ditanyakan," ujarnya, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (14/4/2022).

Dalam isu BPA yang memerlukan referensi ilmiah karena menyangkut substansi kimia, menurut Satrio, yang layak untuk dimintai penjelasan itu seharusnya para pakar, dokter, dan para akademisi yang keilmuannya sangat terkait dengan masalah ini sehingga beritanya bisa dipertanggungjawabkan.

"Menjadi sangat berbahaya kalau orang yang hanya mengklaim sebagai aktivis LSM dan segala macam kelompok yang tidak memiliki basis keilmuan terkait BPA itu, bicara mengenai hal yang sebenarnya di luar kapabilitas mereka atau di luar kemampuannya," tukas mantan jurnalis senior Harian Kompas ini.

Jadi, menurutnya, terkait isu BPA ini, medianya yang salah karena mau mengutip narasumber yang tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan atau materi beritanya. Dia mencontohkan saat mau menulis tentang kondisi perekonomian Indonesia di masa pandemi, wartawan itu bisa saja menanyakan hal ini kepada seorang pemilik warung.

"Namun, pasti pemilik warung itu akan bicara seputar bisnis warungnya saja, seputar pembelinya yang turun dan sebagainya. Itu kan tidak bisa dijadikan narasumber untuk materi tulisannya. Yang layak menyampaikan pendapat soal itu adalah para pengamat dan pakar-pakar ekonomi serta akademisi yang memiliki keilmuan di bidang ekonomi," tukasnya.

Hal-hal seperti ini harus bisa dibaca oleh wartawan, tetapi sayangnya, Satrio melihat dalam dunia media saat ini banyak para pekerja pers yang hanya bisa menulis berita saja tanpa memahami dan tau etika jurnalistik. "Jadi, mereka belum bisa disebut sebagai wartawan profesional karena belum menerapkan prinsip-prinsip jurnalistik secara pas," tukasnya.

Celakanya lagi, menurut beberapa pengamat media, saat ini tidak ada penanda yang jelas antara tulisan hasil karya jurnalisme atau tulisan berbayar (advertorial). Beberapa media besar seperti Tempo hanya menuliskan "INFO Tempo" di akhir tulisan berbayar. Media lain bahkan tidak banyak yang tidak memberikan penanda sama sekali sehingga pembaca tidak tahu apakah ini berita organik (murni) atau berita komersial berbayar. Kekisruhan ini juga ditambah dengan kehadiran "bohir" atau mediator penyebaran "rilis" yang diduga memberikan "balas jasa" ke media yang menerbitkan tulisan sesuai "rilis" tanpa melakukan cek ricek.

Dalam memilih narasumber itu, kalau di media-media yang profesional, biasanya ada arahan dari pimpinannya apakah itu redaktur, redpel, atau pemred untuk mencari narasumber yang benar-benar menguasai materi yang akan ditanyakan. "Ketika meliput begitu harusnya. Jadi tidak asal meliput dan ditayangkan begitu saja tanpa mengetahui latar belakang narasumbernya," tukasnya.

Salah satu contoh nyata kegagalan dalam cek ricek konten dan sumber berita seperti sikap media dalam meliput hasil survei yang dilakukan YLKI mengenai isu BPA itu, seharusnya para wartawan bisa mengamatinya apakah YLKI, meski merupakan lembaga ternama, melakukan survei yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai lembaga perlindungan konsumen atau tidak.

"Seharusnya kan survei yang dilakukan YLKI itu tidak untuk menggiring opini publik bahwa kemasan galon guna ulang itu berbahaya. Namun, ingin mencari tau apakah memang benar ada masyarakat yang pernah sakit saat menggunakan air galon guna ulang itu. Jadi, survei dilakukan terhadap masyarakat bukan ke tokonya atau pola pendistribusiannya," ucapnya.

Satrio juga menegaskan, kalau ingin tau apakah kadar BPA dalam air galon itu sudah membahayakan atau tidak, itu tidak bisa menggunakan survei. "Jadi, kita melihat dalam kasus YLKI ini, dia melakukan survei mengenai pola pemasaran dan pengiriman galon air ke tempat-tempat distribusi, tapi kesimpulannya menyangkut mengenai kadar BPA. Itu kan nggak nyambung," ujarnya.

Kalau ke toko-toko, yang lebih cocok dilakukan survei itu adalah untuk mencari apakah desain galon ini menarik atau tidak menarik. Hal itu dilakukan untuk meningkatkan penjualan terhadap galon itu. "Namun, kalau ingin mengetahui kadar BPA di dalam air galon, itu harus dengan pakarnya," katanya.

Baca Juga: Regulasi BPA Segera Terbit, BPOM Sesalkan Industri yang Berpandangan Salah

Satrio melihat apa yang dilakukan YLKI dan lembaga-lembaga LSM lainnya yang melakukan kampanye dengan mengunggulkan merek tertentu dalam kaitannya dengan persaingan dagang itu, tidak layak untuk dimuat di media karena itu hanya bertujuan untuk menjatuhkan merek-merek lain. "Lagi pula, mereka itu tidak punya basis keilmuan yang pas untuk kasus BPA ini," ungkapnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Dewan Pers, Hendry Ch Bangun juga mengatakan seharusnya berita-berita yang tidak sesuai prinsip-prinsip jurnalis itu tidak layak untuk ditayangkan. "Buat apa dimuat," katanya.

Menurutnya, pemuatan rilis itu tergantung nilai beritanya apakah ada atau tidak. Kemudian juga sesuai atau tidak dengan visi misi media itu. "Harus dicek apakah berimbang atau partisan sebab yang kena nanti kan medianya kalau ada apa-apa," ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo. Menurutnya, media massa harus memeriksa otoritas dan kredibilitas sumber sebelum mengutip sumber tersebut. "Otoritas dan kredibilitas sumber menentukan apakah dia layak dikutip atau tidak," ucapnya.

Ketua Pokja Media Sustainability Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Hery Trianto, mengatakan bahwa kerja di dunia jurnalis pada umumnya rilis itu perlu di-crosscheck dan harus cover both side.  "Yang penting sebenarnya apakah benar informasinya, harus diverifikasi, kemudian kalau melibatkan dua pihak apalagi itu yang berkonflik seperti yang terjadi pada perusahaan AMDK saat ini, harus dicek kebenaran dari klaim-klaim yang mereka lakukan," tukasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Bagikan Artikel: