Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) mengingatkan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk berhati-hati dalam menghentikan siaran analog televisi terestrial alias analog switch off (ASO).
PR2Media dalam kajian berjudul “Memastikan Hak Publik dalam Implementasi Analog Switch Off 2022” menyatakan dua tahun untuk mempersiapkan implementasi ASO adalah waktu yang sangat singkat, sementara banyak negara maju butuh waktu lebih dari lima tahun.
PR2Media memberikan catatan terkait persoalan regulasi, yang perlu dipertimbangkan sebagai rekomendasi jangka menengah. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara no. 91/P V V-X VII/2020 telah menyatakan Undang-Undang no. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat, dan dalam amar putusan ketujuh MK memutuskan “menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.
Baca Juga: Sosialisasi Analog Switch Off, Anggota DPR: Kominfo Akan Bagikan 6,7 Juta Set Top Box
Putusan MK tersebut secara tegas memerintahkan penangguhan segala kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Program ASO termasuk dalam pengertian bersifat strategis dan berdampak luas bagi masyarakat Indonesia, sehingga Kominfo harus berhati-hati mempersiapkan dan melaksanakan program ASO agar tidak merugikan keberlanjutan penyiaran nasional sesuai UU Penyiaran dan mengutamakan hak masyarakat mengakses sumber informasi dan hiburan.
Apalagi UU Cipta Kerja mengatur jadwal ASO dengan tenggat waktu yang sangat singkat hanya dua tahun, jika dibandingkan persiapan yang dilakukan di banyak negara lain. Memang ASO di Indonesia sudah diwacanakan sejak lama, tapi regulasi dan persiapan implementasi baru dilakukan selama dua tahun ini.
UU Cipta Kerja menjadi rujukan bagi regulasi pelaksanaan ASO yaitu Peraturan Pemerintah no. 46 tahun 2021 tentang Pos,telekomunikasi, dan Penyiaran. PP tentang Postelsiar ini tidak tepat mengatur ketentuan yang bersifat sangat strategis terkait digitalisasi penyiaran terestrial.
Seharusnya ketentuan tersebut diatur dalam regulasi setingkat undang-undang agar jangan sampai preseden buruk karut-marut payung hukum migrasi siaran tV digital terulang kembali seperti Peraturan Menteri no.22/PeR/M.KOMInFO/11/2011 tentang Penyelenggaraan Penyiaran televisi Digital terestrial Penerimaan tetap tidak Berbayar (free to air) yang di-judicial review dan dinyatakan batal oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan no. 38P/HUM/2012. “Oleh karena itu, Undang-Undang Penyiaran perlu segera direvisi secara memadai, yang akan digunakan sebagai basis kebijakan digitalisasi penyiaran terestrial,” tulis kajian tersebut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: