- Home
- /
- News
- /
- Megapolitan
Disebut-sebut sebagai Gubernur Rasis, Fakta 4 Tahun Anies Pemimpin DKI Dibongkar, Jangan Kaget!
Anggota Tim Gubernur Untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) DKI Jakarta Tatak Ujiyati mati-matian membela Gubernur Anies Baswedan yang dihajar dengan berbagai isu miring.
Salah satu isu yang selalu lekat dengan Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu adalah adalah isu rasial. Itu tidak terlepas dari sejumlah polemik yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.
Tatak menegaskan, tudingan Anies Baswedan adalah kepala daerah dengan visi rasis itu adalah pernyataan yang tak berdasar. Selama ini kata dia tidak ada kebijakan Anies Baswedan yang mengarah pada masalah rasisme.
Baca Juga: Pendukung Jokowi Mohon Berlapang Dada dengan Ikhlas, Presiden Tampaknya Dukung Anies Baswedan
“Dugaan yang terbukti keliru. Empat tahun memimpin Jakarta, tak ada satupun kebijakan Anies yang rasis,” kata Tatak Ujiyati di akun twitternya dikutip Populis.id Sabtu (30/4/2022).
Sebaliknya lanjut Tatak, selama empat tahun pimpin Jakarta Anies Baswedan justru disebut sebagai gubernur paling demokratis. Ini terbukti dari sejumlah penghargaan yang diborong Pemprov DKI selama ini.
“Terbukti bawah kepemimpinan Anies, indeks demokrasi DKI Jakarta meningkat 4 tahun berturut-turut. BPS loh yang meneliti,” katanya lagi.
Bersama pernyataannya, ia membagikan cuitan pegiat media sosial, Rudi Valinka yang membagikan berita berjudul ‘Setara: Visi Politik Anies Baswedan Adalah Rasisme’ Ini adalah berita lawas yang tayang pada 2017 silam.
Berita ini mengulas pidato perdana Anies Baswedan setelah dilantik menjadi orang nomor satu di Jakarta. Dalam pidato pertama itu, Anies Baswedan membahas berbagai masalah dengan menggunakan diksi ‘pribumi’.
Ketua Setara Institute, Hendardi menyebut bahwa pidato tersebut menggambarkan visi politik Anies Baswedan.
“Menyimak pidato pertama Anies setelah dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta, publik menjadi mafhum bahwa visi politik Anies adalah rasisme,” kata Hendardi.
Hendardi menilai, pidato Anies Baswedan itu menunjukkan bahwa politisasi identitas bukan hanya untuk menggapai kursi gubernur, tetapi hendak dijadikan landasan memimpin dan membangun Jakarta.
“Pidato yang penuh paradoks: satu sisi mengutip pernyataan Bung Karno tentang negara semua untuk semua, tapi di sisi lain menggelorakan supremasi etnisitas dengan berkali-kali menegaskan pribumi dan nonpribumi sebagai diksi untuk membedakan sang pemenang dengan yang lainnya,” katanya.
Hendardi menilai bahwa pada awalnya, banyak pihak yang beranggapan politisasi identitas agama, ras, dan golongan adalah sebatas strategi destruktif pasangan Anies-Sandi untuk memenangi kontestasi Pilkada DKI Jakarta. Artinya, lanjut dia, politisasi identitas itu hanya untuk menundukkan lawan politik dan menghimpun dukungan politik lebih luas hingga memenangi Pilkada. Namun, pidato politik Anies mengungkap hal yang lebih besar lagi.
Pernyataan Anies, menurutnya, bukan hanya keluar dari nalar etis seorang pemimpin provinsi melting pot yang plural, tetapi juga membangun segregasi baru atas dasar ras.
“Kebencian atas ras adalah mula dari suatu praktik genosida, seperti di Myanmar. Genosida tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk penegasan ras dan etnis lain dalam membangun Jakarta,” ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: