Kemenangan Putra Diktator Filipina Sebagai Presiden Disambut Gegap Gempita, Bisa Merembet ke ASEAN?
Dalam beberapa minggu lagi, Faye Faustino akan berulang tahun ke-53, dan ia mengatakan hasil pemilihan presiden Filipina adalah kado ulang tahun yang sempurna.
"Saya tidak tidur selama 24 jam, mengikuti perkembangan terbaru setiap jam," katanya kepada ABC. "Saya sangat senang."
Baca Juga: China Yakin Hubungan Filipina Semakin Kuat di Bawah Putra Diktator
Seperti Faye Faustino, komunitas Filipina di seluruh Australia tidak malu-malu mengungkapkan pandangan mereka tentang pemilu Filipina yang paling memecah belah warga Filipina dalam beberapa dasawarsa.
Mereka menghadapi pilihan yang sulit, putra seorang diktator versus pengacara hak asasi manusia.
Tidak jarang, terjadi perselisihan antarkelompok pendukung yang bersaing.
Minggu ini, banyak orang Filipina yang berbagi kegembiraan seperti halnya Faye Faustino.
Wakil Presiden petahana, Leni Robredo --saingan utama Ferdinand Marcos Jr, yang lebih dikenal sebagai "Bongbong" (atau disingkat BBM)-- memenangkan suara terbanyak di Konsulat Jenderal Filipina di Sydney dan Melbourne.
Tapi hasil ini tidak mencerminkan hasil keseluruhan penghitungan suara yang masuk.
Meski hasil resmi pemilu diharapkan baru bisa diumumkan sekitar akhir bulan Mei, tetapi karena lebih dari 90 persen suara telah dihitung, dapat terlihat bahwa Marcos, yang mencalonkan diri bersama putri presiden petahana Rodrigo Duterte, akan keluar sebagai pemenang.
Ini adalah kemenangan mayoritas sejak revolusi 1986 yang menggulingkan kediktatoran dua dekade mendiang ayah Bongbong.
"Saya kecewa, marah, dan sedih," kata Vince de Guzman, 20 tahun.
Namun, mahasiswa Sydney telah bersumpah untuk tidak berkecil hati.
"Saat kami, para pemuda, merasa putus asa, saat itulah kami benar-benar kalah. Kami semua tahu bahwa perjuangan untuk Filipina yang lebih baik tidak akan pernah berakhir," katanya kepada ABC.
Beberapa ribu pengunjuk rasa, terutama kaum muda, berunjuk rasa di luar markas komisi pemilihan umum di Manila setelah hasil awal perolehan suara diumumkan.
Pada Rabu (11/05) petang di Federation Square Melbourne, digelar sebuah aksi bertajuk "Tidak untuk Marcos-Duterte 2022" yang mengutuk apa yang disebut penyelenggara aksi sebagai "tandem fasis."
"Bongbong Marcos dan Sara Duterte pasti akan melanjutkan warisan mengerikan ayah mereka dari pelanggaran hak asasi manusia yang masif, pencurian dan penjarahan," kata kelompok advokasi Anakbayan Melbourne.
Pendukung Bongbong menolak narasi diktator
Ribuan penentang Marcos senior mengalami penganiayaan selama era darurat militer tahun 1972-1981 yang brutal, dan nama keluarga Marcos menjadi identik dengan penjarahan, kronisme, dan kehidupan mewah, setelah miliaran dolar kekayaan negara menghilang.
Namun, keluarga Marcos menyangkalnya – dan begitu juga banyak pemilih Filipina saat ini.
Baca Juga: Putra Diktator yang Jadi Presiden Filipina Minta Jangan Nilai dari Kasus Ayahnya
Faye Faustino hidup di bawah pemerintahan Marcos senior di Filipina, tetapi percaya bahwa masa itu adalah masa yang "sangat, sangat baik."
Dia mengatakan narasi seputar kediktatoran Marcos senior adalah propaganda.
“Media sosial sangat membantu dalam mencerahkan, atau membuka pola pikir masyarakat Filipina,” kata Faye.
Liz Ficnerski, yang adalah inisiator kelompok pendukung dari Melbourne untuk Bongbong Marcos dan Sara Duterte, setuju dengan pendapat itu.
"Saya tidak pernah berpikir bahwa Ferdinand Marcos adalah seorang diktator," kata pria berusia 55 tahun itu kepada ABC.
"Dia adalah tipe presiden yang telah berjasa untuk banyak hal bagi Filipina. Kami akan senang sosok itu kembali."
Sejarah ditulis ulang melalui penguasaan media
Vince de Guzman diajari di sekolah tentang dinasti politik Marcos yang terkenal kejam dan tidak dapat memahami bagaimana begitu banyak pendukung BBM, blogger, dan influencer media sosial mengatakan bahwa sejarah telah terdistorsi.
Dia mengatakan dia dan teman-temannya dapat berbagi informasi dan mengikuti situasi politik di tanah air melalui media sosial, tetapi iru seperti "pedang bermata dua."
"Keberadaan Bongbong Marcos sebagai kandidat presiden menunjukkan seberapa besar media sosial dapat berperan dalam hal ini," katanya.
"Orang-orang menerima fakta palsu bahwa era Marcos adalah masa yang paling jaya dan yang sebenarnya terjadi tidak begitu, maksudnya cerita begitu banyak orang dilukai dan disiksa, dan uang yang dicuri."
Aim Sinpeng, dosen senior di departemen pemerintahan dan hubungan internasional di University of Sydney, mengatakan ini bukan situasi yang unik bagi Filipina.
Di seluruh dunia, politisi telah menggunakan media sosial sebagai alat untuk membangun ulang citra diri mereka sendiri dengan memberikan informasi atau fakta alternatif, katanya.
"Ini adalah pemasaran politik yang cerdas sebagai bagian dari kampanye BBM dalam memanfaatkan media sosial untuk menulis ulang sejarah," kata Dr Sinpeng kepada ABC.
"Ada garis tipis antara rebranding dan menciptakan citra dan persona baru, dan menciptakan informasi alternatif yang melawan fakta."
Dia mengatakan yang membedakan pemilu kali ini dengan tahun 2016 adalah pergeseran ke platform seperti TikTok.
"Tik Tok penting karena ini adalah rumah bagi para amatir, bukan influencer profesional," katanya.
"Saya pikir pengaruh akar rumput semacam itu, yang jauh lebih sedikit dipantau daripada Facebook, telah memberi ruang bagi kampanye BBM untuk benar-benar tumbuh secara luas."
Filipina dikhawatirkan menghadapi kesenjangan yang lebih lebar
Marie Anne San Gabriel berbicara di acara "Paint Adelaide Pink Sunday" bulan lalu untuk mendukung Leni Robredo.
Gabriel mengatakan dia tidak hanya khawatir tentang korupsi, tetapi juga takut pemerintah Bongbong Marcos akan meninggalkan banyak orang Filipina.
Leni Robredo telah menjanjikan pemerintah yang fokus pada kaum terpinggirkan.
"Kandidat saya sudah membantu orang-orang dari daerah yang sangat miskin," kata Gabriel.
"Bagi banyak orang di Filipina, situasi mereka sangat kritis."
Walaupun ada spekulasi tentang kecurangan pemilu dan laporan mesin pemungutan suara yang rusak, Gabriel mengatakan sulit untuk menyangkal hasil perolehan suara Bongbong yang unggul telak.
Penghitungan tidak resmi menunjukkan Bongbong Marcos memiliki 31 juta suara, dua kali lipat dari Leni Robredo.
"Kami harus menerima kekalahan, itu hal yang paling bisa dengan lapang dada dilakukan," kata Gabriel.
"Di Filipina, jika Anda kaya, Anda benar-benar kaya, tetapi jika Anda miskin, Anda sangat, sangat miskin," kata perempuan berusia 69 tahun itu.
"Saya hanya berdoa dan berharap kali ini situasinya akan berbeda ... mudah-mudahan, dia akan membuat Filipina jauh, jauh lebih baik daripada apa yang dilakukan ayahnya."
Meneruskan warisan Duterte
Sepanjang kampanye, Bongbong Marcos hanya memberikan sedikit petunjuk tentang seperti apa agenda kebijakannya, selain pesannya tentang "persatuan."
Analis memperkirakan Bongbong akan fokus menyelesaikan peningkatan infrastruktur multi-miliar dolar Duterte dan menjalin hubungan yang lebih dekat dengan China.
Baca Juga: Tumbang! Manny Pacquiao Dibuat KO Duet Putra Diktator dan Putri Duterte
Beberapa pihak menganggap masalah korupsi dan nepotisme yang ada di Filipina dapat memburuk.
Rado Gatchalian, seorang pendukung vokal Bongbong Marcos dan penyelenggara reli nasional, mengatakan dia tidak khawatir tentang korupsi.
Sejak Marcos senior diasingkan oleh "Revolusi Kekuatan Rakyat" pada 1986, tidak ada yang terjadi untuk memperbaiki lanskap politik Filipina, kata Gatchalian.
Bahkan, sejak itu dia yakin kondisinya semakin memburuk.
"Ada banyak korupsi, ada banyak penyelewengan. Jadi hal yang mereka benci tentang Marcos, itu terjadi setelah Marcos juga," katanya.
Dia juga memercayai kisah para tetua di Filipina yang mengatakan kepadanya bahwa era Marcos senior merupakan masa keemasan Filipina.
"Banyak, banyak sesepuh dengan yakin mengatakan kepada saya bahwa presiden Marcos adalah presiden terbaik Republik Filipina - bahwa Filipina lebih baik pada masanya dibandingkan dengan presiden-presiden yang menggantikannya," katanya.
Warga Sydney berusia 43 tahun itu senang dengan beberapa perubahan yang dibuat Duterte, dengan mengatakan dia membuat jalan-jalan lebih aman dan berharap Bongbong Marcos akan melanjutkan banyak kebijakannya.
Pendukung Marcos lainnya menyebutkan janji kampanye untuk tarif layanan listrik dan air yang lebih murah dan meneruskan fokus Duterte pada proyek infrastruktur besar.
Mengenai pembicaraan tentang hubungan yang lebih dekat dengan Rusia dan China, Gatchalian mengatakan dia tidak menganggap itu sebagai masalah.
Sophia Maranan stands in front of a wall covered in vines smiling. Image: Sophia Maranan mengatakan iklim politik yang terpolarisasi banyak dibahas antara keluarga dan teman-temannya menjelang pemilihan umum. Supplied
Sophia Maranan, seorang mahasiswi Sydney berusia 20 tahun, mengatakan bagaimana pun enam tahun ke depan, dia dan teman-temannya akan terus berjuang melawan informasi yang salah dan korupsi.
"Ini bukan akhir dari perjuangan kita," katanya.
"Kita harus memastikan mereka bertanggung jawab atas tindakan mereka sebagai pemimpin negara."
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: