Enam Langkah Strategis Ini Bisa Perkuat Ekonomi Indonesia dalam Menghadapi Masalah Besar Dunia
Dunia sekarang ini sedang menghadapi masalah besar secara bersamaan. Pertama, hampir seluruh negara di dunia menghadapi ancaman inflasi sebagai imbas dari pandemi Covid-19. Kedua, inflasi, dan ditambah dengan perang Rusia vs Ukraina, mengakibatkan perubahan struktur ekonomi dunia.
Dua masalah tersebut memiliki kerumitan sendiri, saling tumpang tindih, sehingga membuat dunia dalam beberapa tahun ke depan akan menghadapi tantangan yang serius.
Demikian materi yang dibahas dalam webinar Economic and Social Development for a Resilient Indonesia, pekan lalu. Hadir dalam webinar tersebut SD Darmono, founder President University (PresUniv) dan sekaligus Chairman Grup Jababeka, Rektor PresUniv, Chairy dan segenap jajaran wakil rektor, para dekan, kepala program studi, dan para dosen serta segenap civitas academica PresUniv.
Menghadapi masalah tersebut, tim dosen PresUniv memprediksi akan banyak negara yang memilih untuk bersikap konservatif dalam mengalokasikan anggaran belanjanya.
“Meningkatnya inflasi pada hampir seluruh negara di dunia membuat otoritas moneter negara-negara tersebut akan mengambil kebijakan untuk bertahan dari badai krisis yang bisa menjadi sangat parah. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis,” kata Chairy.
Baca Juga: Menilik Dampak Kenaikan Suku Bunga The Fed terhadap Ekonomi Indonesia
Diketahui, Amerika Serikat (AS), melalui The Federal Open Market Committee (FOMC), telah meningkatkan suku bunganya sebesar 50 basis point pada tahun 2022, dan diprediksi akan meningkat lagi hingga lebih dari 100 basis point.
Inflasi di negara itu diperkirakan akan mencapai titik tertinggi sejak 40 tahun terakhir. Ini merupakan dampak dari kenaikan harga pangan, bahan bakar dan energi. Semua itu dipicu oleh perang akibat invasi Rusia ke Ukraina serta lockdown yang dilakukan China selama masa pandemi Covid-19.
Rusia cenderung mempertahankan perang agar berlangsung lebih lama dan mengalihkannya menjadi perang ekonomi. Itu dilakukan dengan menahan pasokan bahan makanan baik dari Rusia maupun Ukraina ke Eropa dan AS, serta pasokan energi dan bahan bakar ke Eropa.
Rusia juga terus berusaha memperkuat nilai mata uangnya sampai level tertentu dengan memaksa Eropa dan AS untuk bertransaksi dengan menggunakan Rubel Rusia. Saat ini Rubel telah menguat ke tingkat 80,33 Rubel per dollar AS dari sebelumnya sekitar 121,50.
Kenaikan suku bunga di AS memicu naiknya yield Sovereign Bonds negara itu yang berjangka waktu 10 tahun. Ini membuat sovereign bonds negara-negara lain yang diperdagangkan di AS tidak akan laku jika dijual dengan yield yang lebih rendah. Hal itulah yang membuat Pemerintah Indonesia pada 31 Mei 2022 menaikkan suku bunga sovereign bonds-nya yang berjangka waktu 10 tahun menjadi 7,05%.
Baca Juga: Dampak Embargo Minyak Mentah Uni Eropa ke Rusia, ICP Mei 2022 Naik Jadi US$109,61 per Barel
Hal tersebut sekaligus mempengaruhi usaha Indonesia untuk memperoleh dana melalui penerbitan sovereign bonds. Pemerintah terpaksa menerbitkan surat utang dengan suku bunga tinggi, karena ekspektasi yield dari investor yang juga tinggi.
Sebetulnya penerbitan surat utang untuk membiayai pembangunan biasa dilakukan oleh banyak negara di seluruh dunia. AS termasuk negara yang menerbitkan surat utang terbesar di dunia. Di sisi lain, dollar AS juga dipakai oleh banyak negara di dunia sebagai alat pembayaran dalam transaksi internasional. Jadi, dollar AS beredar di mana-mana. Jika AS mengalami kekurangan uang untuk memenuhi kebutuhan pembiayaannya, The Fed bisa mencetak uang baru.
Kata Chairy, “Indonesia tentu tak bisa meniru langkah AS. Kekuatan ekonomi Indonesia berbeda dengan kekuatan ekonomi AS. Kalau Indonesia ikut-ikutan mencetak uang baru untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan, termasuk membiayai pembangunannya, inflasi akan segera terjadi. Maka, Indonesia harus mencari cara lain dalam menggali sumber-sumber pendanaan.”
Di Indonesia, pemerintah juga terus mencari sumber pendanaan baru dengan mengeluarkan baik Obligasi Retail Indonesia maupun Obligasi Pemerintah Jangka Panjang bersuku bunga 4,9% per tahun. Ini dilakukan untuk mendapatkan dana dengan cost of capital yang lebih rendah, sebelum inflasi meningkat lebih tinggi, sehingga menyebabkan real return dari obligasi tersebut menjadi rendah.
Ditopang Ekspor
Pada kuartal I-2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,01%. Kinerja ini lebih baik ketimbang China yang tumbuh 4,8% atau AS yang bahkan tumbuh negatif 1,4%. Membaiknya kinerja perekonomian itu terutama ditopang oleh sektor ekspor, khususnya ekspor CPO dan batubara. Meski begitu ekspor barang mentah seperti ini tidak bisa terus menerus dipertahankan.
Para dosen PresUniv juga mencatat, meski perekonomian Indonesia tumbuh 5,01%, beberapa sektor industri kinerjanya masih kurang menggembirakan. Contohnya di industri hospitality. Kinerja perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bisnis ini masih belum sepenuhnya pulih. Masih banyak pegawai di industri tersebut yang kehilangan pekerjaan akibat lesunya ekonomi sebagai dampak dari pandemi Covid-19.
Jadi apa yang mesti dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan perekonomiannya dari dua masalah besar dunia tadi?
Enam Langkah Strategis
Dosen-dosen PresUniv, sebagaimana dipaparkan oleh Chairy, mengusulkan enam langkah strategis. Pertama, untuk memperoleh dana, termasuk devisa, guna pembiayaan pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu terus mendorong ekspor. Hanya yang diekspor bukan lagi barang mentah, tetapi produk olahan atau barang jadi, yang nilai tambahnya lebih tinggi. Dengan cara seperti ini, pemerintah dapat sekaligus mendorong tumbuhnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat inovatif dan kreatif, sehingga membuat perekonomian Indonesia menjadi lebih sustainable. Dalam konteks ini, perguruan tinggi juga bisa memberikan kontribusi untuk perbaikan ekonomi Indonesia. Melalui kolaborasi dengan kalangan korporasi, perguruan tinggi dapat melakukan berbagai riset dan inovasi untuk mengolah barang mentah menjadi barang olahan atau barang jadi.
Momentum ini sekaligus juga bisa dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong lahirnya entrepreneur-entrepeneur baru dari lingkungan perguruan tinggi. Untuk itu, tim dosen PresUniv mengusulkan agar pemerintah menurunkan tarif pajak bagi perusahaan-perusahaan rintisan (startup companies), baik itu berupa PPN atau PPh. Ini agar generasi milenial dan generasi Z tertarik memulai bisnis baru, terutama bisnis-bisnis yang berbasis inovasi dan kreativitas.
Selain itu, tim dosen PresUniv juga mengusulkan agar pemerintah bisa mengalokasikan kredit dengan suku bunga rendah bagi perusahaan-perusahaan rintisan, termasuk yang rintisannya berangkat dari universitas. Ini penting agar perusahaan-perusahaan rintisan tersebut tidak lagi mengandalkan pendanaannya dari berbagai skema pembiayaan yang bersuku bunga tinggi, seperti peer to peer lending atau pinjaman tanpa agunan, dan sebagainya.
Untuk mendorong munculnya produk-produk kreatif dan berbasis inovasi, Pemerintah juga bisa meningkatkan alokasi dana riset bagi perguruan tinggi. Dengan dana tersebut, perguruan tinggi dapat melakukan riset sendiri, atau melakukan riset bersama universitas lain. “Ekonomi masa depan adalah ekonomi yang berbasis riset dan inovasi,” tegas Chairy.
Langkah strategis kedua yang bisa ditempuh pemerintah, lanjut Chairy, adalah menggunakan produk dan jasa dalam negeri untuk mengurangi impor bahan baku dan Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk sektor-sektor yang sudah dapat ditangani oleh SDM Indonesia, penggunaan tenaga asing perlu dibatasi atau bahkan dilarang. Melalui penggunaan produk dan jasa dalam negeri, Indonesia dapat lebih menghemat devisa.
Salah satu produk impor yang dapat dikurangi adalah bahan bakar minyak (BBM). Untuk mengurangi konsumsi BBM, pemerintah perlu mendorong masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi publik, dan mendorong penggunaan lebih banyak kendaran listrik—termasuk untuk transportasi publik.
Dengan demikian selain mengurangi konsumsi BBM, yang sekaligus juga mengurangi subsidinya, penggunaan kendaraan listrik akan menekan tingkat polusi udara. Langkah ini juga sejalan komitmen pemerintah melalui G20 untuk mengurangi emisi karbon hingga 29% sampai tahun 2030.
Langkah strategis ketiga yang diusulkan tim dosen PresUniv adalah berupa gebrakan pembangunan properti murah bagi masyarakat. Bentuknya, antara lain, pemerintah menginisiasi gerakan membangun Sejuta Rumah yang seluruh bahan baku dan SDM-nya harus produk nasional.
Gerakan Sejuta Rumah ini diharapkan dapat menjadi pemantik bagi pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi dan sekaligus mengurangi backlog kebutuhan akan perumahan. Menurut survei Sosial Ekonomi Nasional 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, backlog perumahan Indonesia mencapai 12,75 juta unit.
Langkah ini pernah dilakukan oleh Pemerintah AS pasca Perang Dunia II (PD II). Guna mendorong pertumbuhan ekonominya, Presiden AS Franklin D. Roosevelt mengeluarkan GI Bill of Right pada 22 Juni 1944 untuk membantu para prajurit AS yang baru pulang dari perang agar dapat memiliki rumah dengan hipotek yang rendah. Sebagian dana juga dialokasikan bagi para prajurit yang ingin melanjutkan pendidikan atau membeli lahan-lahan pertanian. Dengan adanya GI Bill of Right tersebut, perekonomian AS pasca PD II menjadi cepat pulih.
Dalam konteks ini, langkah serupa dapat ditempuh Indonesia. Hanya mengingat kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih, sejuta unit rumah tersebut tidak perlu seluruhnya dijual. Ini hanya bridging atau “jembatan sementara” untuk mengatasi backlog perumahan yang mencapai 12,75 juta unit. Bagi konsumen yang mampu, silakan membeli. Bagi yang belum mampu, bisa diterapkan sistem sewa.
Di dunia bisnis, properti ibarat lokomotif. Bangkitnya bisnis properti akan menciptakan banyak lapangan kerja dan menarik bangkitnya gerbong-gerbong bisnis yang lain, seperti barang-barang elektronik, furnitur, industri saniter, otomotif, pusat pebelanjaan, dan lain sebagainya. Dengan bangkitnya bisnis-bisnis tersebut, perekonomian Indonesia diharapkan bisa segera bergairah kembali.
Langkah strategis keempat, pemerintah perlu memberikan kredit properti (mortgage) dengan suku bunga rendah bagi masyarakat, dan kredit untuk perusahaan yang berorientasi produksi. Guna mendukung kebijakan tersebut, perbankan diimbau untuk menurunkan target Return on Investment (ROI), Net Interest Income (NII) dan Net Interest Margin (NIM). Di sisi lain, Bank Sentral perlu mengimbangi dengan melonggarkan kriteria kesehatan dan kinerja perbankan. Semua kebijakan tersebut tentu tetap perlu dikelola secara hati dan konservatif agar jangan sampai mengganggu kinerja operasional perbankan dan sektor keuangan.
Langkah strategis kelima, lanjut Chairy, adalah mengundang masuknya investasi asing lewat skema Foreign Direct Investment (FDI). Dengan langkah seperti itu, devisa akan masuk ke Indonesia sehingga memperkuat posisi foreign reserve, seraya sekaligus menciptakan lapangan kerja baru. Indonesia masih membutuhkan banyak lapangan kerja baru.
Untuk mengundang masuknya investor asing, termasuk mendorong Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), pemerintah perlu membenahi regulasi tentang investasi. Di antaranya, dengan mempermudah perizinan melalui penerapan digital one stop service (layanan perizinan satu atap berbasis digital) yang terintegrasi baik antara pemerintah pusat dan daerah maupun lintas kementerian dan lembaga. Selain itu, pemerintah juga perlu secara agresif memangkas prosedur dan waktu pengurusan perizinan.
Langkah strategis keenam, pemerintah secara bertahap dan terstruktur mulai mengendalikan investasi di pasar surat berharga, dan mengalihkan dananya untuk investasi di sektor riil. Untuk itu pemerintah perlu memberikan kemudahan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di sektor, seperti insentif perpajakan dan berbagai fasilitas lainnya. Perekonomian suatu negara akan lebih yang sehat dan berkesinambungan jika lebih banyak dana yang dialokasikan untuk direct investment ketimbang di pasar uang.
Demikian enam langkah strategis yang disampaikan oleh tim dosen PresUniv dalam webinar Economic and Social Development for a Resilient Indonesia, sebagaimana dipaparkan Chairy. Webinar tersebut digelar untuk memberikan usulan ke pemerintah tentang bagaimana strategi memulihkan perekonomian Indonesia di tengah ancaman meningkatnya inflasi dunia sebagai dampak pandemi Covid-19 dan perang Rusia vs Ukraina.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri
Tag Terkait: